Aku dan Kak Feri belajar bersama di ruang depan. Sambil kembali menjelaskan mengenai KPK dan FPB, Kak Feri membuat salinan rumus di buku tebal disampingnya. Kak Feri kelas tiga SMP dan langganan juara. Kak Feri selalu menghindar setiap kutanya mau lanjut SMA kemana. Jawaban basa basinya adalah belum tahu. Tapi aku menduga Kak Feri bohong. Ayah pernah terpeleset omongan bahwa Kak Feri akan melanjukan Sekolah ke luar pulau. Aku menduga paling jauh adalah Palembang, tapi Palembang bukan luar pulau.

Tepat jam dua belas, adzan Dzuhur berkumandang. Kak Feri menutup buku sambil menepuk kepalaku dengan sayang.

“Kakak yakin, Andin bisa menjadi yang terbaik di kelas, pemahaman Andin sudah bagus,” ujar Kak Feri sambil berdiri dan menyeret kursi ke belakang.

“Tapi bagaimana kalau hasilnya tidak sesuai harapan?” aku menatapnya dengan ragu.

“Harus percaya diri dong Adek Kecil,” sahut Kak Feri sambil tertawa.

Aku baru ingin membantah ketika Ayah menghampiri Kak Feri menyuruhnya bergegas wudhu dan mengajaknya sholat ke masjid besar di Kampung Sebelas. Rumah kami terletak di kampung tujuh, berjarak sekitar lima ratus meter dengan masjid besar dan satu satunya di desa.

 

Juno

Minggu adalah hari libur bagi teman-temanku. Kadang saat mengantar kopi keliling kampung aku menemukan mereka bergelantungan di pohon Sawo di atas sungai besar yang membelah desa. Di saat lain mereka  berteriak senang menangkap ular sawah dengan badan penuh lumpur atau bermain Benteng di lapangan depan langgar. Anak perempuan lebih sering berlama-lama mandi dan mencuci di batu besar pinggir sungai sambil bermain air. Setelah badan menggigil karena hampir dua jam berendam di sungai mereka  akan duduk di akar Pohon Sawo dan membuka bekal yang dibawa dari rumah, makan dengan lahap sambil berbagi lauk.

Dimanapun teman-teman bermain dan menikmati hari, aku tidak menemukan sosok Andini. Kadang aku ingin hari berganti cepat ke Senin sehingga aku bisa bertemu dengan si gadis jutek itu.

Andini punya dunianya sendiri. Dia hanya akan ditemui di ayunan tua di belakang rumah, memeluk buku kesayangannya atau di meja ruang depan yang telihat  jelas dari seberang jalan. Asyik dengan buku pelajarannya.

Siang ini aku seharusnya mengantar kopi ke warung toke Ihsan di perempatan. Kuambil jalan memutar ketika pulang dan melewati rumah Andini. Ada motor Suzuki merah di parkir di bawah pohon Nangka di depan rumah Andini. Itu motor sepupunya.

Memuaskan rasa ingin tahuku, sepedaku kuayun sepelan mungkin. Andini sedang berkonsentrasi dengan buku di depannya. Dihadapannya, lelaki berkulit putih dengan rambut disisir menyamping, tampak geli sendiri sambil memainkan ekor kuda Andini. Tanpa sadar aku menarik tuas rem terlalu kencang hingga sepeda berhenti tiba-tiba. Andini mengangkat kepala dan  melihat ke arah jalan raya, tempat aku berdiri mematung di atas sepeda. Raut mukanya berubah cepat menjadi kaku. Dipalingkan cepat kepalanya kembali menekuni apa yang tadi diabaikannya sesaat.

Kukayuh sepeda sekencang yang kumampu. Mengapa aku harus peduli apa yang dilakukan Andini. Aku bahkan tak berteman dengannya. Tapi aku tahu setiap malam aku membayangkan bisa dekat dengan Andini, menjadi temannya, mengajarinya lompat jauh, lompat tinggi dan permainan bola kasti.

Aku ingin menjadi teman Andini. Aku ingin mendengar ia berbicara tentang novel-novel yang dibacanya. Aku ingin mengajarinya membuat pantun. Aku pintar membuat pantun dan puisi, Andini seharusnya tahu itu.

Tapi setiap kali aku ingin meyapa Andini, ucapan uwak Marzuki kembali terngiang di telingaku. Desas-desus orang kampung memang sampai di telingaku. Juno anak titipan. Juno anak buangan. Anak penunggu kebun. Anak siluman. Setiap kali ingin membantah, aku melihat kembali kulit legamku. Dan aku menyerah pada takdir yang entah akan membawanya menjadi apa.

Sebentar lagi ujian sekolah. Aku tahu aku tak akan lama lagi bisa melihat Andini. Lepas SD, kakeknya pasti akan menyekolahkannya di SMP terbaik di kota, mungkin di Palembang.

Waktuku tidak banyak. Aku harus bicara pada Andini. Aku hanya punya kesempatan sekarang, sebelum kelulusan. Aku harus mengembalikan buku tulis Andini dan meminta maaf atas semuanya.

Aneh rasanya membayangkan sekolah tanpa melihat si kutu buku jutek itu. Apakah aku bisa meminta bapak untuk menyekolahkanku ke kota juga agar bisa satu sekolah kembali dengan Andini. Tapi secepat khayalanku datang, secepat itu juga kutepis. Mana mungkin anak buangan sepertiku bisa bersekolah di kota seperti Andini.

Aku tak pernah tahu masa depan apa yang akan menjemputku. Hingga pada suatu sore yang gerimis, sebuah mobil Hardtop merah melintas di desa dan berhenti tepat di depan rumahku. Dan sejak saat itu garis hidupku berubah total. Aku bukan lagi Juno si anak buangan.

Aku Juno Damari bukan anak siluman...

Bersambung...


1 komentar:

Total Tayangan Halaman

Popular Posts

www.penulistangguh.com. Diberdayakan oleh Blogger.