BAGIAN SATU

TERLAMBAT

 

Andini

Aku masih asyik menyelesaikan pohon faktor dari tugas yang diberikan Bu Mutia ketika pintu terhempas membuka dan seorang laki laki dengan tinggi badan melampaui teman sekelasku masuk bergegas menuju meja guru yang berjarak sejengkal dari tempatku. Aku tersentak ketika Bu Mutia memanggil namaku dan menyuruhku mengambil buku absensi kedisiplinan. “Tuliskan nama Jano, catat hari dan jam kedatangannya. Jangan lupa laporkan sabtu depan ke meja Ibu.” “Baik Bu Mutia” balasku memberanikan diri menatap Jano dengan penasaran, meskipun obyek didepanku tampak sibuk sendiri mengusap peluh yang menetes dari kening, leher dan lengannya yang gempal.

Bagaimana mungkin seorang anak kelas lima SD berpeluh sedemikian banyak pada jam delapan pagi, pikirku heran. Kami tinggal di  pegunungan dengan hutan lebat terbentang antar desa. Gigil kami di pagi hari rasanya masih membekas. Aneh.

 

...

Tatapan

Suara bel dari gong kecil didepan ruang guru terdengar sampai ke kelas kami yang terletak di ujung, dan berbatasan dengan pagar sekolah. Meli melompatiku yang masih berusaha memasukkan  LKS Matematika ke dalam laci meja. Sial, kepalaku hampir saja membentur meja. Aku sudah  bersiap meneriaki Meli ketika Jano melewati mejaku dan pukulan tangannya mendarat cukup keras di meja dan membuatku mendongak.

“Apa apan sih!” teriakku keras. Omelan yang seharusnya untuk Meli kualihkan ke Jano. Tanpa sadar aku berdiri menatapnya dengan sedikit mendongak berusaha menerka maksudnya.

Pertanyaanku hanya berbalas tatapan sekilas dari Jano. Tanpa berhenti, Jano melewatiku dengan pelan, tanpa bergegas tanpa menoleh dan tanpa rasa bersalah.

Aku teringat nasehat emak tentang Jano, “jangan terlalu dekat dengan Jano, dia berbahaya, dia berbeda dengan kita Andini, ”entah apa maksud emak.”

Aku masih berusaha menebak apa yang terjadi ketika suara riuh teman sekelas membuatku menoleh dan menghampiri. Keingintahuanku membuatku setengah berlari menuju pintu keluar dan menabrak tubuh hitam legam yang sedang bersandar santai di pintu kelas kami yang setengah terbuka. Tatapan mematikan kembali mengarah padaku, aku melupakan pening dan denyutan di keningku yang mungkin akan membiru karena kerasnya benturan dan segera berlalu menjauh. Jika tadi tujuan utamaku berlari untuk melihat paa ynag terjadi, sekaramg aku hanya ingin lari menjauh dari tubuh hitam menakutkan yang ada di depanku.

Suara Meli  dan Torik  yang memanggilku bersahutan makin keras ketika aku sudah mencapai lapangan. Puluhan anak riuh memperhatikan seekor kerbau yang terihat bingung menerjang kesana kemari di tengah lapangan. Bu Mutia, Pak Didi, Pak Dani dan guru lainnya terlihat berusaha menenangkan kerbau hitam itu ditengah riuh suara tepuk dan sorai murid. Terlihat kerbau semakin menjadi dan menerjang makin mendekat, semua murid berlarian masuk ke kelas  untuk menghindar termasuk aku. Sambil berusaha mengintip kerbau yang masih liar di halaman tiba tiba aku teringat Juno. Juno sehari hari bekerja dengan kerbau Pakwo Dodik.

 

Jano

Sial!!!

Untuk ketiga kalinya di minggu ini aku terlambat masuk kelas. Aku membuka pintu kelas dengan tergesa. Sambil melihat jam dinding di  atas papan tulis hitam, aku melihat sekilas ke arah meja diseberang meja Bu Mutia.

Benar benar murid teladan dan anak emas guru. Sementara teman sekelas lainnya asyik mengobrol atau saling melempar pesawat terbang kertas, anak perempuan itu asyik menyelesaikan soal matematika.

Aku tak perlu mengarang alasan berbeda setiap kali bertemu Bu Mutia. Beliau tahu dan mengerti benar alasanku terlambat. Hanya rutinitas yang membuatnya memanggil si judes itu untuk menuliskan namaku di buku catatan kedisiplinan siswa.

Namanya Andini. Si juara satu, jago bahasa inggris dan jago pidato. Aku lupa apakah karena kepintarannya atau judesnya yang membuat ia selalu diingat. Atau silsilah keluarga sebagai cucu Uwak Marzuki yang kaya raya.

 

Bel baru saja berbunyi ketika Si Bengal yang duduk disamping Andini melompatinya dengan tiba tiba. Aku akan lewat dan tak sadar mengetuk meja mereka dengan sedikit keras. Aku memberikan pandangan tak setuju dengan tingkah Meli ketika Si Jutek mulai berkicau. Sial!!! Suara cemprengnya langsung memecah keriuhan yang tadinya  tak seberapa.

Aku membayangkan Andini adalah sebuah petasan yang dipegang seorang penggugup. Kapanpun , kita harus selalu siap mendengar  ceracaunya. Terus terang suara omelannya membuat telingaku pekak. Kasihan sekali mamak dan bapaknya. Untunglah dia tak bersaudara.

 

LOMPAT JAUH

Andini

Suara Pak Ashari menggelegar di lapangan. Teriakannya membuat ciut semua siswi termasuk aku, tentu saja kecuali Meli. Kulirik sekilas tatapannya yang fokus menatap kolam pasir sekitar lima meter dari tempat kami berdiri.
Training putih hijau yang dipakainya terlihat pas di tubuhnya yang tinggi. Sambil bersiap menunggu peluit dari Pak Ashari, Meli menautkan jemarinya dan kletak kletak, terdengar suara mengerikan dari jemarinya yang direnggangkan dengan kencang. Oh ya ampun, dasar bengal!!.

“Priiit” suara peluit Pak Ashari hampir membuatku terjatuh. Sial!!. Untung tak ada yang memperhatikan betapa gemetarnya aku. Jika ada pelajaran yang paling kuhindari itu adalah Olahraga. Dan jika ditanya olahraga apa yang membuatku tak suka, aku akan berteriak semuanya.

Suara tepukan  mulai terpindai. Meli melompat dengan sempurna. Lompatannya jauh, bahkan mungkin paling jauh dibanding anak laki-laki yang sok jago sekalipun. Kalau ada yang menandinginya. Jano lah orangnya.

“Andini, giliranmu,” teriak Pak Ashari tanpa ampun.

Dan anak-anak mulai riuh menyorakiku. Aku tahu mereka senang menertawakanku di belakang. Mereka hanya bermanis manis jika butuh aku untuk menjelaskan soal Matematika atau membantu membuat pantun untuk tugas Bahasa Indonesia. Teman temanku semuanya munafik.

Lututku gemetar, pijakanku goyah dan bahkan beberapa detik setelah peluit ditiup aku masih gemetar berlari ke arah bak pasir lima meter di depanku. Aku berlari pelan dengan ragu. Hasilnya membuat pak Ashari melotot. Aku berlalu berusaha menepikan pelototan Pak Ashari dan  berlari menuju ke arah sungai kecil di belakang sekolah.

Sungai di belakang gedung  sekolah mengalir pelan tanpa riak. Dalamnya hanya sekitar lima belas sentimeter dengan luas sekitar dua meter. Airnya mengalir jernih dan menenangkan. Sambil mengusap titik air mata yang tak mampu kutahan, aku merendam kakiku. Sorakan teman teman di lapangan sayup terdengar dari tempatku duduk. Aku tak menyadari berapa waktu berlalu hingga hening. Tanpa tergesa kupakai kembali sepatu kets merah hadiah Ayah yang masih menyisakan ruang di kaki mungilku.

Aku berjarak lima meter dari pintu kelasku, pintu cokelat dengan tulisan akrilik  KELAS ENAM warna hitam yang baru dipasang sekitar sebulan lalu ketika langkah cepat seseorang melewatiku. Aku tahu tanpa menoleh siapa. Aromanya adalah aroma wangi kopi merah bercampur peluh, sedikit manis dan menyegarkan. Aku heran darimana kulit hitam legamnya berasal. Yang kutahu Uwak Ken punya kulit yang menarik untuk dilihat, bahkan Makwo Emi punya mata sipit dengan kulit putih seperti orang Tionghoa yang memang merupakan ras kebanyakan di kampungku. Mungkin benar kata orang, Jano anak buangan, Jano anak titipan penghuni kebun kopi di seberang sungai Lintang. Anak makhluk jadi jadian. Tanpa sadar aku bergidik pelan sambil mendekapkan tangan ke tubuh.

Tepat jam dua belas, gong kecil kembali berkelontang. Setiap pintu cokelat dihempas dengan keras diiringi teriakan ramai dari teman teman sebayaku. Aku membayangkan mereka adalah peluru yang berdesing dari senapan otomatis. Suara teriakan mereka adalah desingnya. Tanpa tergesa kusandang ransel hitam di atas meja dan menenteng novel Alisyahbana yang belum selesai kubaca menyusul teman temanku.

 

Juno

Jam tujuh kurang sepuluh menit aku sudah meletakkan tas  di meja. Meli tersenyum lebar menyambutku. Celotehnya lebih banyak terdengar kalau teman sebangkunya tak ada. Dengan tangan kurusnya Meli mengajakku ber-high five. Ditariknya lenganku menuju pintu keluar. Kekuatan tubuh Meli sedikit tak terduga. Orang mengira Meli kurang gizi karena tampak ceking dibanding teman temannya. Tapi banyak menduga ia punya kekuatan herkules wanita. Seperti sekarang, tarikannya membuat lenganku berdenyut protes. Makan apa sih nih anak.

“Hari ini Olahraganya lompat jauh!. Lihat bak pasirnya sudah diratakan dan bantalannya sudah disiapkan,” sapa Meli dengan gembira.

“Hmm, membosankan!” jawabku pelan sambil  bergerak meninggalkannya yang masih tersenyum memandang bak pasir  di ujung kiri lapangan.

 

...

Aku masih asyik memandangi sepatu bututku ketika suara anak anak terdengar lebih riuh dari biasanya. Giliran kami anak laki laki sudah selesai. Kulirik sekilas temanku yang masih berdiri pucat di garis start. Tubuh mungil itu gemetar. Melihat wajahnya aku teringat kambing Wak Samem yang terjebak di pagar kayu kemarin petang, putus asa.

Suara peluit Pak Ashari hampir saja membuat Andini terjungkal. Dengan  tak pasti diseretnya kaki kecil itu hingga akhirnya  sampai juga di bak pasir dengan pelan. Aku bahkan  mampu menghitung pasti berapa langkah yang dibutuhkannya untuk sampai di sana. Hasilnya bahkan lebih buruk dari perkiraanku.

Sorakan mengejek makin ramai terdengar. Mungkin itu luapan kekesalan teman temanku pada si anak emas. Mereka tak mampu mengunggulinya di mata pelajaran apapun, mereka selalu kalah, mereka jengkel. Hanya di pelajaran Olahraga mereka mampu membuat seorang anak kepala sekolah keok.

Kupikir pikir teman temanku cukup kejam. Mereka meneriaki Andini yang berlalu dengan kepala tertunduk ke arah belakang sekolah tanpa henti. Pak Ashari  seperti membiarkan. Aku sempat menatap Pamanku dengan tatapan bertanya, dan berbalas gerakan di bahu seakan berkata biarkan saja.

Lima menit setelah Andini menghilang di balik gedung sekolah, rasa ingin tahu membuatku melangkah ke arah yang sama. Aku melihat seorang anak kecil sedang merendam kaki di sungai dengan sesekali tangannya mengusap matanya yang basah. Andini menangis, aku tak pernah melihatnya menangis. Kurasa apa yang terjadi hari ini membuatnya malu. Aneh membayangkan si gadis jutek itu bersedih. Seperti minum seduhan  kopi yang bercampur dengan kulit, membuat kening bertaut.

Aku menunggu saat yang tepat untuk mengajaknya bicara, meskipun terlihat mustahil melihat sikapnya denganku. Bagaimanapun aku ingin bercerita yang sejujurnya pada Andini, adikku.

Bersambung...


 


Aku tahu tanpa melihat, sekarang sudah lebih dari jam Sembilan malam. Warung Ayuk Deti sudah tutup sekitar sejam lalu. Anak-anak sudah dipanggil pulang dan tidur dalam gelap. Pendar obor berkilauan dari  celah celah papan rumah panggung di desaku. Sebagian besar tetanggaku sudah terlelap. Disini malam beranjak lebih lambat. Jarum jam seakan bosan  berputar. Malam pekat dan mencekam. Ada banyak maling yang sedang mempersiapkan diri menyatroni rumah rumah juragan kopi. Musim kopi sedang berlangsung. Panen berhasil. Emas emas kuning yang dibeli di Pasar Besak pagar Alam dibeli dan ditumpuk di lemari pakaian  ditutup berlapis tumpukan pakaian. Banyak orang kaya dadakan di desa. Tapi tak ada yang bermewah mewah seperti orang kota. Kami terbiasa menimbun emas untuk dijual pada musim paceklik atau ujung musim. Kami hanya merayakan panen melimpah dengan membeli sekilo dua kilo daging kerbau atau ikan Guan. Itu sudah cukup untuk merayakan kebahagiaan kami. Budak kecik dibelikan baju baru, tak lebih dari sehelai.

Panen kebon Abah juga  berhasil. Hampir tiga ton kopi berhasil kami jual ke Toke Asep. Abah menyuruhku menitipkan uang hasil kopi pada Uwak Soleh untuk disetor ke Bank. Abah dari dulu bukan orang yang  senang membeli barang. Kasur kapuknya saja tak kunjung diganti.  Abah  bahkan cenderung pelit untuk urusan uang. Aku maklum kalau Abah punya anak perempuan, setahuku aku anak satu satunya Abah dan aku tidak tahu untuk apa uang  hasil panen di setor ke Uwak Soleh. Aku tahu Abah tidak suka berhutang. Menanyakan langsung ke Uwak Soleh aku merasa tidak enak. Abah sendiri diam setiap kali kutanya untuk apa uang hasil panen.

Di sini anak perempuan butuh uang untuk  biaya menikahkan. Dua ekor kerbau, sewa orkes melayu, negak balai dan lain-lain. Punya banyak anak gadis artinya harus siap uang banyak untuk sedekah. Anak lanang leb ih praktis. Tak kuat melamar anak gadis, merantau masih bisa jadi pilihan. Menikah dengan orang luar Sumatera. Gadis Jawa kabarnya tak telau banyak meminta asal saling suka.

Tiba-tiba aku ingin menghentikan waktu untuk sesaat. Tak sampai dua bulan lagi, ujian kelulusan SMP dilaksanakan. Aku sudah lama bertekat merantau ke tanah Jawa. Andi dan Ujang sudah pasti meneruskan SMA di Palembang. Meli dan Aida ingin merantau ke Bengkulu. Anton berangkat ke Jambi menyusul ayuknya. Aku ingin ke Pulau Jawa. Tepatnya ke Pulau Jawa paling timur. Ke tempat teman masa kecilnya sekarang berada.

Rutinitas yang biasanya Abah lakukan setiap hari sekarang menjadi rutinitasku selama liburan. Libur dua minggu sebelum ujian kelulusan bertepatan dengan musim panen kopi. Sekarang  Jam enam pagi, jalanan masih belum sepenuhnya terlihat. Jaket tebal yang biasa dipakai Abah rasanya tak mampu menahan dinginnya udara pegunungan. Mulutku mengeluarkan uap. Kugenggam cangkir kopiku lebih erat mencoba menyerap hangat yang masih tersisa di sana. Masih sekitar sepuluh menit lagi sebelum taksi tua milik Mang Ujang datang dan mengantar kami ke Kebon.

Banyak pekerja musiman yang ikut menunggu di pinggir jalan disamping warung Ayuk Deti. Panen Kopi memang menjadi magnet bagi perantau dari tanah jawa untuk ikut mengais rejeki dengan menyewakan tenaga mereka yang kuat untuk ikut memetik biji merah itu lalu memanggulnya hingga ke lumbung. Mereka tak banyak minta, dibayar sesuai banyaknya kopi yang berhasil dipetik lalu pulang. Abah pernah berkata, mereka adalah imigran yang ingin mengadu nasib disini. Secara materi hidup mereka sudah mencukupi. Rata-rata punya kebun sendiri atau usaha buka warung. Tapi panen kopi yang melimpah butuh banyak tenaga ekstra. Tak banyak orang aseli Tebing atau aseli Sumatera yang tertarik menjadi petani kopi kecuali mereka tak punya pilihan lain. Suatu pagi Abah pernah bertanya, apakah aku ingin menjual kebun kopi yang kami miliki dan menggunakannya untuk membuka usaha. Aku hanya diam sambil menatap mata Abah. Sejak itu Abah tak pernah bertanya lagi. Abah tahu, aku takkan pernah menjual kebunnya. Kebun kopi itu adalah hidupku.

Taksi berhenti tak jauh dari tempat pekerja itu berkumpul. Penampakan mereka tak jauh berbeda denganku. Jaket tebal, keranjang rotan dengan tali dari sarung yang dililit dan kupluk tebal sambil tak henti menautkan tangan mencoba menghalau dingin. Aku menyeberangi jalan penuh lubang dengan aspal yang berlubang disana sini, bergabung dengan mereka. Tinggiku menjulang hampir menyamai Mang Diran yang kutahu berasal dari suatu kota di Jawa Timur. “Ai ado bujang alap,“ suara Mang Ujang menyapaku dari balik kemudi. Kusambut tangan Mang Ujang dan menciumnya dengan takzim. Mang Ujang adalah adik Abah. Kuraih satu persatu tangan orang orang yang duduk berhadapan di taksi, aku yang paling kecil di sini. 

Aku duduk dekat pintu yang terbuka dengan kaki terjulur di depan. Diiringi udara yang mendesir dan gemeletuk mulut kami, taksi melaju kencang di jalanan yang lebih banyak lubang daripada aspalnya. Desaku tak pernah tersentuh roda pembangunan. Jangankan jalan, listrik pun masih tak kunjung datang. Suara klakson bersahutan memenuhi pagi. Setiap kali ada kendaraan terlihat dari arah depan dengan laju yang tak kalah kencangnya, tangan Mang Ujang otomatis menekan klakson panjang  untuk peringatan agar menjauh. Taksi kami tak mengurangi kecepatannya meskipun di tikungan atau berpapasan jalan dengan  taksi lain. Mang Ujang adalah satu dari banyak sopir ugal-ugalan di sini. Darah Sumatera memang tak bisa bohong, meledak ledak dan tak mau kalah. Doa sapu jagat kuucap dalam hati  sambil memohon Tuhan agar jangan terlalu cepat memanggil kami. Jangan sekarang, di saat ada banyak biji kopi yang siap kami petik dan ditukar emas. Kulirik Mang Diran dan teman temannya. Dengan mulut komat kamit dan muka seputih kertas mereka  khusyuk berdoa. Memang berbeda perangai orang Jawa dan Sumatera. Seperti wajan dan panci pindang. Aku tergelak dalam hati sampai lupa doaku  sendiri.

Setelah  lima belas menit perjalanan ke hulu desa. Kami sampai di pematang. Taksi Mang Ujang tak mampu mengantar kami lebih jauh. Jalan yang mendaki dan terjal tanpa aspal bukan tandingan. Di sinilah stamina kami diuji. Dua sampai tiga kilometer kedepan harus kami lalui dengan cepat sebelum matahari meninggi dan membuat perjalanan semakin sulit. Jalan itu selebar dua meter dan didominasi batu kerikil berukuran sedang dan batu batu besar yang menonjol disana sini. Kami berjalan beriringan dalam hening. Keranjang bergelayutan di leher kami. Kanan kiri kami adalah kebun orang yang mujur benar dekat dengan jalan raya tanpa perlu berjalan seperti kami. Makin dekat dengan jalan raya makin rawan dijarah garong kopi yang berkeliaran.

Kira-kira satu kilometer berjalan terlihat Dangau kecil rapi dari celah pepohonan. Aku melambatkan langkah. Terdengar gemericik air dari sungai kecil di belakang danau. Ada sebelas pijakan batu dari mulai ujung tangga di belakang dangau sampai ke tepian sungai kecil itu. Ada jemuran kayu di sebelah kanan dan kandang ayam di kirinya. Dangau itu terlihat sunyi. Tapi bekas api unggun di dekat gunungan biru terpal menandakan adanya  kehidupan. Tiba tiba aku membayangkan kaki kecil Andini melompat dari batu satu ke batu lainnya sambil membawa keranjang baju menuju sungai. Rambut ekor kudanya bergerak ke kanan ke kiri. Andini terlihat setidaknya empat kali dalam setahun di pondok itu ketika masih duduk di sekolah dasar. Pondok  itu milik Kakeknya yang tersohor. Uwak Marzuki. Tapi itu dulu, sebelum Andini merantau ke tanah jawa.

Bersambung ...





Jika kau sekedar singgah, 
Aku mohon, bersikaplah seperti tamu,
Agar aku tak salah,

Harus menyuguhkan kopi atau hati.

Juno masih tenggelam dengan buku tulis biru tipis di tangannya, ketika suara Abah terdengar memanggil namanya pelan. Abah tak segarang dulu lagi. Suaranya sekarang tak lagi lantang dan menggelegar. Suaranya meredup bersamaan dengan berat badan yang kian meyusut. Dulu Abah adalah orang paling perkasa di kampung satu. Badannya kekar dan atletis. Kulit sawo matang dan rambut hitam legam dengan tinggi di atas rata-rata orang Desa Tebing, 187 cm. Abah menonjol diantara kebanyakan petani kopi di daerah sini. 

Tapi empat tahun yang lalu tragedi menghampiri Abah, merampas harga diri Abah. Sejak itu Abah berubah. Abah makin jarang berkumpul dengan warga sekitar. Kalau dulu Abah bukan orang yang suka mengobrol, sekarang Abah benar-benar tidak ingin mengobrol dengan tetangga kanan kiri. Abah tetap rajin pulang pergi ke kebon kopi yang berjarak sekitar tujuh kilometer dari desa menuju ke arah bukit di hulu desa. Tapi Abah mengabaikan undangan sedekah yang tak putus datangnya. Biasanya Abah paling diandalkan di Balai Lembongan untuk urusan menanak nasi dan memotong kerbau menjadi potongan yang tepat dimasak rendang, malbi, gulai sampai pindang daging. Dibutuhkan orang yang punya fisik kuat dan pengalaman seperti Abah agar daging kerbau bisa dimasak sesuai dengan jenisnya. 

“Ini Kopi Abah, masih panas, tunggulah sebentar” kuletakkan segelas kopi hitam pekat tanpa gula kesukaan Abah. Seperti kebanyakan orang Tebing dan sekitar, kopi adalah minuman wajib di pagi, siang, sore, malam dan ketika berbincang menemani malam. Semakin banyak orang bertamu atau kita bertamu, yang hampir setiap malam, sebanyak itu juga kopi diminum. Lima gelas kopi perhari adalah jumlah minimal yang diminum orang Tebing. Kopi adalah urat nadi dan hidangan sehari-hari di sini. Jika ada yang bisa menyaingi kopi itu adalah pempek dan cuko. Apalah jadinya penduduk Tebing tanpa kopi, pempek dan cuko hitam. 

“Besok senin kau baliklah ke Muaro Enim, naik mobil Pakcik Ujang, berangkat jam tujuh” suara Abah membuatku urung berdiri. “Juno masuk sekolah masih tigo hari lagi Abah, Juno balik minggu sore be” aku duduk di sisi pembaringan Ayah. Dipan baghi peninggalan Nek Anang. Sehelai kasur kapuk tipis tampak mengenaskan dibawah tubuh kurus Abah. Kasur kapuk itu menjadi saksi kekuatan dan keperkasaan Abah. Menampung berat tubuh Abah bertahun-tahun dan tetap setia meskipun  terlihat sekarat. Kasihan Abah harus merasakan papan kayu yg keras yang tak mampu dihadang kasur kapuk, kasihan mereka berdua.

“Ai alangke senang kau nih melamun, kau tuh lanang bukan gadis tujuh belasan”, bentakan Abah membuat mataku tertunduk. Merasa tak semestinya mengasihani Abah dan kasur kapuknya. Abah paling benci dengan rasa kasihan. “Abah istirahatlah, Juno besok yang ke Kebon” kutinggalkan Abah sebelum sempat membantah. Kututup pintu kayu cokelat dengan pelan, suara deritan papan yang kuinjak mengikutiku hingga di pintu ruang tengah. Kamarku terletak di ujung depan di sebelah kiri, dengan pintu tepat menghadap ke pintu masuk rumah. Tiga jendela kecil yang mengarah ke jalan utama masih terbuka lebar. Gorden bergoyang-goyang di topang papan bulat yang diletakkan seperti palang di tiap jendela. Ada kursi rotan kecil di dekat jendela paling kiri tempatku tadi duduk sambil merokok. Gelas berisi kopi sudah tandas, abu rokok berserakan di asbak putih bening yang rempal di salah satu bagian. Aku sengaja merokok di depan jendela sehingga asapnya terhisap udara pegunungan yang membuat gigil. Abah tak suka melihatku merokok, aku tahu. Tapi Abah tak pernah mengucapkannya. Aku malu sendiri menyadari kebodohanku. 

Andai Abah tahu alasan utamaku merokok sepanjang waktu. Tanganku terkepal ketika melihat wanita tua di bale-bale tua tepat di jendela seberang sedang mengaji seperti sengaja mencemoohku.

bersambung....

Total Tayangan Halaman

Popular Posts

www.penulistangguh.com. Diberdayakan oleh Blogger.