Aku mengingatmu.
Kau yang selalu menjaga jarak aman dariku.
Dengan badan tegap dan kulit kecokelatan yang kau dapat dari keseharianmu, fisikmu jauh melampaui teman-temanmu.

Tak seperti kami, kau selalu datang terlambat.
Dengan badan penuh keringat dan seragam yg  tampak lusuh, kau menjelaskan alasanmu.
Sekilas kulihat rona malu membanjiri wajahmu ketika teman sekelas kita mulai menyorakimu.

Kau tak pernah dekat denganku.
Bahkan kupikir kau sengaja menjauhiku.
Kau terlihat sebal setiap kali aku dianakemaskan guru.

Kau mungkin tak pernah tahu,
Betapa aku ingin berteman denganmu.
Betapa aku ingin menjadikan kau sahabatku.

Kau mungkin mengira

Aku hanyalah anak manja
Yang selalu mendapatkan hak hak istimewa karena aku anak kepala sekolah.

Aku mencarimu
Mencari khabarmu di setiap kepulanganku.
Tapi kau menghilang.

Hingga saat ini, aku masih merindukanmu
Sahabatku.

#SahabatMasaKecil



Tahu dong makanan khas Palembang.

Iya bener, Pempek.

Meskipun kalau mau disebutkan sebenarnya enggak cuma itu, ada Model, Tekwan, Mie Celor, Tempoyak, Pindang, Kemplang daaaan banyak lagi.


Kami di pelosok enggak terlalu banyak makan pempek ikan karena memang di pelosok susah cari ikan belida atau tenggiri yang jadi khas bahan pempek.


Aku ingat, aku mulai mengenal makanan orang kota ketika pertama kali datang ke Kabupaten Lahat. Iya, aku disekolahkan di SMP Kabupaten, sekolah terbaik di Kabupaten, Sekolah Orang Berduit karena memang bayarnya cukup mahal bagi kami yang biasa sekolah di pelosok.


Aku tinggal di Perumnas, rumah milik Mami Papi yang kosong. Aku tinggal di Perumnas ditemani Cik Nis almarhumah, adik Mami.

Di Perumnas aku punya banyak tetangga yang baik hati. Di Perumnas kami punya langganan bakso dan pempek. Pempek yang kumaksud adalah pempek kates.


Pempek Kates bentuknya persis seperti pempek kapal selam dengan bentuk yang lebih kecil dan isi di dalamnya adalah tumisan kates muda yang sangat nikmat. Pertama kali makan langsung jatuh cinta. Dicelup di cuko pempek yang kental, hitam dan pedas rasanya sangat enak.


Pempek Kates ini dijual keliling oleh seorang makcik. Setiap jam empat sore. Aku selalu tak sabar menunggunya dan harganya pun sangat murah yaitu lima ratus rupiah.

Sejak pertama kali menikmati pempek kates khas di Kota Lahat, lidahku selalu merindukannya, hingga saat ini.


Sekarang gerai pempek di mana-mana dengan embel-embel khas Palembang Ilir, Khas Wong Kito Galo. Varian yang dijual juga banyak dari mulai kapal selam, lenjer, pempek tahu, pempek adaan, pempek keriting, pempek kulit tapi tidak
ada satupun yang jual pempek kates.

Entah kenapa Pempek Kates ini sangat langka, apa mungkin ini khas dari Kabupaten Lahat saja hingga susah dicari.

Satu yang pasti, pempek favoritku adalah Pempek Kates.



Papiku seorang pengajar.

Papiku adalah seorang pembaca.

Papiku adalah orang pertama yang mengenalkan buku kepadaku.


Tinggal di pelosok Provinsi Sumatera Selatan, aku hidup di kaki Gunung Dempo yang dipenuhi tanaman teh. Pagi dan malam udara membuat tubuh kami menggigil. Aku tinggal di dusun kecil jarak satu hutan dengan kecamatan Muara Pinang.

Papiku dan Mamiku adalah kepala sekolah dan sekolahku adalah bangunan paling ujung dari dusun yang berbatasan langsung dengan hutan lebat, tapi kali ini aku tidak ingin bercerita tentang sekolahku dan kampungku, aku ingin membagikan cerita tentang kesukaan pertamaku pada buku.


One of the advantage of principal in that era is you could keep the book in your house if your school have no place for it.

Papi punya rak rahasia yang tidak boleh dipegang kecuali atas ijinnya. Rak rahasia papi berisi buku-buku sastra yang sangat bagus. Beberapa yang kuingat adalah Buku buku terbitan Balai Pustaka seperti Siti Nurbaya, Dendam Tak Sudah, Atheis, Dibawah Lindungan Ka'bah, Perempuan Di Sarang Penyamun, Sengsara Membawa Nikmat dan banyak lagi buku-buku yang sekarang seolah asing di telinga kita.


Ketika itu aku masih kelas empat, dan entah kenapa meskipun tidak pernah les dan belajar calistung atau lainnya meskipun tinggal di dusun, di pelosok yang jauh dari pembangunan aku bisa membaca dengan sangat lancar.

Papi melihat ketertarikanku dengan buku, akhirnya menawarkan sebuah perjanjian jika aku bisa menamatkan satu buku dalam satu hari aku boleh membaca buku Papi.

Aku bahagia dengan tawaran Papi.

Alhamdulillah setiap hari sepulang sekolah aku akan tak sabar membaca buku dari Papi.


Buku pertama yang kupilih adalah Atheis, buku dengan cover hitam tebal. Tapi Papi bilang jangan langsung yang berat. Aku memilih buku lainnya dan pilihanku jatuh pada Buku Sengsara Membawa Nikmat. Aku membaca buku sampai habis dan malamnya aku mengembalikan buku yang selesai kubaca. Papi tidak banyak bicara hanya bertanya apakah aku menyukai ceritanya, dan aku menjawab suka.


Aku masih giat membaca sampai akhirnya buku di rak rahasia Papi habis dan aku dikenalkan dengan buku-buku cerita anak SD dari mulai fabel sampai cerita pahlawan seperti Kisah Hang Tuah, Gadjah Mada dan lainnya.

Dari banyak buku yang kubaca, aku paling suka buku di rak rahasia Papi. Papi bilang itu adalah buku dengan kualitas terbaik karena ditulis oleh sastrawan hebat yang kelak akan selalu diingat dan dikenang. 


Aku sempat berdiskusi tentang buku Atheis, tapi Papi bilang aku masih terlalu kecil untuk mengerti. Tapi Papi selalu berkata, jangan berhenti membaca karena buku adalah jendela dunia. Mungkin karena kesukaanku yang besar dengan buku akhirnya Papi mengirim aku  ke sekolah yang menurutku aneh bagi anak dusun sepertiku.


Iya, lepas SD aku dikirim ke kabupaten dengan angkutan yang kupanggil taksi. Taksi adalah angkutan seperti angkot di Pulau Jawa.

Di sekolah ini, aku melanjutkan hobbyku membaca. Aku bersyukur Papi menyekolahkanku di sekolah ini. Di sekolah ini aku bisa menghabiskan banyak buku dan mengenal banyak pengarang hebat yang sampai sekarang masih menjadi idolaku.


Aku akan bercerita tentang masa SMP-ku yang luar biasa di cerita selanjutnya.

Terima kasih Papi, yang sudah mengenalkanku dengan buku, tidak melarangku untuk memegang buku-buku kesayangan Papi dan selalu memberikanku semangat yang untuk membaca dan terus membaca.


 


Suatu hari notifikasi muncul di gawaiku.

Aku masih asyik dengan Novel Robert Galbraith ketika notifikasi lain muncul.

Kisah Robin dan Si Raksasa Cormoran Strike lebih menarik perhatianku daripada denting notif di gawaiku.

Jam 3 sore, anak lelakiku sudah sibuk menyiapkan sarung dan sajadah bersiap berangkat ke Musholla.

Aku meletakkan novel setebal 560 halaman di nakas dekat tempat tidur dan mulai beranjak ke arah dapur.

Kesibukanku baru berhenti tepat di jam 16.30, bersiap mandi dan sholat ashar.


Lepas Maghrib aku baru sempat melihat gawaiku.

Pesan bertubi datang dari group kecilku. Ajakan untuk kumpul bersama disambut riuh oleh temanku. Sambil saling bersahutan menentukan tempat bertemu. Aku tersenyum membaca pesan mereka, sambil berpikir alangkah indahnya jika nanti kami bisa bertemu disela kesibukan kami masing-masing yang seakan memenjarakan kami.


Tiba-tiba aku teringat, hari yang disepakati adalah hari aku dijadwalkan bertemu dengan salah satu temanku untuk pembahasan penting.

Aduh jadi enggak enak mau komen sementara yang lain sibuk memanggil namaku untuk memberikan respon.

Akhirnya aku memberanikan diri menulis permintaan maaf tidak, bisa ikut.

Tentu banyak hati yang kecewa, termasuk diriku 

Tapi aku juga tak bisa mengganti hari. Ah mungkin belum rejeki saja, next time pasti bisa.


Sambil melanjutkan novel yang tadi kubaca tiba-tiba aku teringat ini sudah kali ketiga kami tidak bisa meet up.

Dan lebih banyak aku yang selalu berbenturan jadwal padahal diawal selalu aku yg diminta menentukan tanggal. Dan entah kenapa selalu ada jadwal dadakan yang membuat acara kami batal.

Aku mulai menutup novel dan berpikir lama.


Aku mulai merasakan perasaan bersalah kepada teman temanku.

Aku ingat dulu aku selalu bisa menemukan waktu untuk berkumpul atau sekedar melepas rindu.

Kadang kami rujakan, makan bakso bareng atau sekedar nyemil gorengan di teras rumah.

Apakah karena sekarang aku bekerja aku mulai susah mengatur waktu. Apakah sekarang waktuku habis untuk bekerja.


Tapi aku selalu bisa menyempatkan diri untuk jalan-jalan, disela-sela sambangan Kakak di Pondok Pesantren. Aku juga selalu menyempatkan kulineran di tempat makan favorit di akhir pekan. Tapi aneh kenapa aku selalu berbenturan jadwal dengan acara meet up group kecilku?


Tiba-tiba aku seperti tertampar.

Astaghfirullah

Apakah aku mulai menepikan teman temanku.

Apakah aku mulai mengesampingkan group kecilku.

Apakah mereka bukan lagi prioritasku?

Apakah aku sudah meletakkan mereka di tempat yang bukan prioritasku lagi?

Iya... aku bukan terlalu sibuk

Aku bukannya sudah punya janji dengan yang lain.

Yang aku lakukan adalah menempatkan mereka sebagai prioritas kedua.


Jika saja aku masih menempatkan group kecilku di prioritasku, aku akan selalu menemukan waktu yang tepat untuk meet up.

Maafkan aku temanku.

Maafkan aku..


 

Apa itu MILES?

Sebuah video tiktok lewat di beranda.

Ups.., ketahuan deh punya aplikasi Tiktok.

Tapi Bismillah selama digunakan untuk hal yang bermanfaat masih diperbolehkan.


Cerita inspiratif pertama kali kita dengarkan, pasti akan membuai pendengarnya, termasuk saya.

Sangat menyenangkan mendengarkan seorang mentor bicara. Adrenalin meningkat, sikap pesimisme hilang, semangat membara dan tak sabar ingin melakukan apa yang diajarkan sang mentor.

Pulang dari acara, kata-kata penyemangat masih lalu-lalang di kepala, sambil rebahan membayangkan kesuksesan yang ada di depan mata, mulai menghitung cuan dan tertawa sendiri bahagia.


Tapi setelah beberapa hari, kata-kata itu mulai tak berarti, pesimisme muncul, ternyata tak semudah itu menjadi sukses. Mulai lelah dengan usaha yang tak terlihat progressnya. Akhirnya menyerah.


Sang mentor lupa menyampaikan materi ini.

Sang mentor sibuk membuai peserta.

Ada banyak faktor yang sangat mempengaruhi kesuksesan seseorang.

Tak banyak orang memilikinya.

Sehingga disebut Unfair Anvantages.

Apa saja itu?


M for Money

Orang yang sudah tajir dari lahir pasti lebih mudah untuk sukses, karena Money is everything lah. Semua bisa diatur jika punya Money. Semua lebih mudah didapat dengan adanya Money. Beda cerita kalau kita tidak punya Money.

Singkat cerita Money make everything possible.


I for Intelligence

Jika kita dibesarkan dalam keluarga yang mampu dan berkecukupan dengan makanan bergizi, tingkat inteligensi kita tentu berbeda dari keluarga yang tidak mampu meskipun tidak selalu. Intelligence ini sangat menentukan dengan daya saing kita ketika mulai berkompetisi. Orang yang terlahir dengan Intelegensi tinggi pasti lebih capable dibanding yang Intelegensinya rendah.


L for Location

Lokasi atau tempat kita berada berpengaruh pada peluang kesuksesan kita. Orang yang dibesarkan di kota dengan banyak kesempatann yang bisa dicoba, dengan segala kemudahan, pasti akan lebih berhasil dibanding orang yang terlahir dan besar di pinggiran atau kota kecil yang semua serba sulit untuk digapai 


E for Education.

Banyak yang bilang ijazah tak penting, pendidikan tak penting. Mungkin untuk beberapa keahlian seperti petani atau pedagang kecil ijazah dan pendidikan adalah hal kesekian. Tapi ditengah gempuran tekhnologi dan berkembanganya semua sektor, pendidikan sangat menentukan. Setiap posisi pasti menginginkan orang yang benar-benar expert di bidang itu. Jadi salah satu yang mempengaruhi kesuksesan tentu pendidikan atau Education.


S for Status

Strata, kedudukan, jabatan serta kasta adalah salah satu yang masuk dalam unfair anvantages. Bukan rahasia jika anak pejabat pasti lebih mudah dibanding anak petani. Jabatan, kedudukan adalah faktor yang mempengaruhi proses sukses seseorang 


Pertanyaannya

Jika kita tidak punya 5 hal yang disebutkan diatas apakah kita masih berpeluang menjadi sukses?

Jawabannya Tentu Bisa

Masih banyak anvantages lain yang bisa kita gunakan.

Lebih detail di posting berikutnya.





Jika ingin mengurai sejarah, hampir semua orang disekelilingku adalah guru.

Mami Papiku adalah Kepala Sekolah SD berpuluh puluh tahun di SD negeri di pelosok Sumatera.

Adikku Guru Bahasa SMA, adik iparku guru SMA.

Keluarga Papiku di Yogyakarta hampir semuanya guru dari mulai TK, SMP, STM hingga SMA.

Aku terlahir di lingkungan pengajar.

Jika liburan tiba, aku disuguhi cerita beraneka macam tentang kejadian di sekolah. Setiap hari aku diajak berdiskusi tentang murid-murid Mami Papi. Setelah dewasa aku mulai mengenal istilah-istilah sertifikasi, RPP, evaluasi kualitatif, evaluasi kuantitatif, project, buku panduan mengajar dan lainnya.

Secara tidak sadar, aku diajak masuk kedalam dunia guru. Aku jadi ingat pesan Mamiku, "Kalian anak anak Mami, kalo idak jadi guru, yo jadilah tenaga kesehatan," kami yang waktu itu masih kecil tidak begitu mendengarkan, tapi aku pernah bertanya, "kenapo cak itu Mami?, kenapo idak boleh jadi lainnyo?" Dan Mami menjawab, "Yo kalo jadi guru kan melanjutkan profesi Mami Papi, kalo jadi tenaga kesehatan kan pacak ngerawat Mami Papi kalo lah tuo".

Cukup lama baru aku menyadarinya, itu adalah keinginan sederhana dari orang tua, berharap anaknya bisa menjadi anak yang berhasil dan juga berbakti meskipun dikatakan dengan kalimat yang sederhana dan to the point.

Lepas SMA aku mencoba kuliah di Akademi Gizi Poltekes Yogyakarta. Alhamdulillah aku senang dan menikmati. Lepas dari kuliah aku tidak tertarik untuk kerja di Rumah Sakit ataupun Puskesmas seperti teman yang lainnya.

Aku sendirian mencoba masuk di dunia farmasi.

Alhamdulillah bergabung di Perusahaan Farmasi terbesar di Indonesia aku dapat banyak pengalaman dan juga cuan, haha..

Tapi setelah 8 tahun aku mulai tertarik untuk kembali kebidang awal aku kuliah yaitu ahli gizi.

Aku pindah menjadi Ahli Gizi di perusahaan PMA besar dan bertahan hingga 5 tahun sampai akhirnya aku harus resign dengan banyak pertimbangan.

Di tengah perjalananku sebagai Ahli Gizi, aku  tertarik dengan bidang yang dulu sempat kusisihkan. Setelah menjadi bagian dari Tsundoku, hihi... Aku ingin menikmati karya luar yang aseli dan aku akhirnya mencoba tantangan baru kuliah sambil bekerja dan bidang yang kuambil adalah Sastra Inggris sesuai dengan minat dan kegilaanku pada buku.

Jadi sebenarnya siapa sesungguhnya aku?

Aku masih sangat ingat kuliah Dietetika, Patologi Klinik, THP, Gizi Masyarakat. Aku juga masih suka utak-atik menu diet sambil menghitung jumlah kalori setiap porsi makanan. Aku suka memberikan konsultasi tentang ilmu gizi dan diet, aku menyukai semua hal tentang Gizi meskipun tak selalu aku praktekkan dalam keseharian, ups..

Aku selalu bergidik melihat minyak yang dipanasi berkali kali, ingat tentang wejangan salah satu dosenku tentang itu.

Disisi lainnya,

I love english, I love making conversation in english. I love practice it with people around me. I am far from expert but I am in love with english language.

Banyak novel sederhana level beginner yang sudah kutuntaskan. Classic genre is one of my favs. Dengan kuliah di Sastra Inggris aku jadi semakin tahu tentang sastra dan buku-buku yang wajib kubaca. I love reading much and  I lcollect books  like a psyco, haha.. Aku bahkan punya banyak koleksi yang mungkin hanya seperempat yang baru kubaca.

Dan,

Ketika akhirnya aku memutuskan untuk resign.

Sebuah kesempatan datang.

Aku diminta untuk menjadi guru, lebih tepatnya Guru Bahasa Inggris di sebuah lembaga TK.

Iya benar TK, Taman Kanak Kanak.

Dan lucunya aku menikmatinya.

Apakah ini  jawaban dari doa Mami?

Yang pasti aku menyukainya.



Jadi bagaimana bisa aku menjadi guru?


 


Jalanan desa penuh dengan siswa-siswi berseragam merah putih. Sekolah kami terletak di ujung desa berbatasan langsung dengan hutan Meruang yang terkenal angker. Rombongan babi hutan seringkali terlihat menyeberang pada jam enam ketika anak anak piket pagi.

Aku melewati Andini yang berjalan sendiri menenteng novel selebar buku tulis yang dibawanya sejak selasa. Anak ini kutu buku, aku tahu koleksi buku ayahnya sangat banyak. Aku pernah beberapa kali mampir ke rumah Kakeknya di hulu desa membawa kopi mentah untuk ditimbang. Di meja kayu panjang  di sisi teras samping, ada foto Andini dan Ayah Ibunya berlatar ribuan buku dari rak-rak kayu hitam. Andini berumur enam tahun di foto itu tampak bahagia dipangku orang tuanya.

Andini adalah gadis kecil yang kesepian. Teman baiknya adalah koleksi buku buku ayahnya. Tak punya saudara, tak punya teman dan tak punya kerabat. Ayahnya perantauan dari Jawa, Ibunya anak tunggal dari Uwak Marzuki. Satu-satunya teman yang terlihat dekat dengan Andini adalah Feri, sepupu jauhnya yang sekarang duduk di kelas tiga SMP. Tapi SMP terdekat berjarak hampir lima belas kilometer di dekat Pasar Baru di kecamatan, jadi mungkin hanya seminggu sekali Andini bisa bertemu sepupunya.

Meli pernah berkata Andini itu aneh, dia sering tertawa sendiri ketika membaca dan seperti berbicara sendiri di lain waktu. Bagiku itu juga aneh.

Aku pernah menegur Meli agar lebih akrab dan bersikap baik dengan teman sebangkunya. Meli balas melotot dengan marah “Kenapa tak kau sendiri yang akrab, kau malah jahat, setiap kali Andini menyapa hanya kau balas dengan tatapan”.

 

HARI MINGGU

Andini

Tak terasa kami sudah kelas enam. Sejak masuk tahun ajaran baru kami disiapkan untuk belajar dan mengikuti les tambahan dari Pak Sanusi. Ibuku sudah sering mengingatkanku untuk fokus dengn pelajaran dan mengurangi membaca novel.

Hari ini hari minggu, lepas pulang mengaji dari langgar Kyai Kip, aku duduk di ayunan tua di samping jendela besar yang menghadap ke kebun. Aku ingin menyempatkan membaca Buku Atheis. Aku sudah memohon selama hampir dua minggu pada Ayah agar diperbolehkan membacanya. Ayah sempat menunda-nunda dan berkilah masih banyak buku lain yang belum kubaca. Tapi buku yang ditandai Ayah sudah habis. Buku lainnya tak diperbolehkan karena belum cukup umur. Bahkan koleksi S Mara GD dengan Kapten Kosasihnya sudah habis kulahap. Aku tertarik dengan buku-buku ayah di rak kaca itu karena ada tulisan besar KARYA PUJANGGA BARU.

Sambil menimang buku bersampul hitam setebal hampir 500 halaman di tanganku aku melamun. Aku ingin menulis seperti Ayah. Aku ingin menjadi pendongeng hebat seperti Ayah. Dan aku akan menulis kisah yang bagus sampai diterjemahkan ke seluruh dunia. Ayah bilang buku yang bagus akan dibaca oleh semua bangsa. Buku yang bagus lekat di hati pembaca, meninggalkan jejak dan menjadi penyemangat bagi yang membaca. Aku ingin menulis buku seperti yang dimaksud Ayah.

 

Kisahnya baru dimulai ketika hidungku kembang kempis menghirup aroma sambal kentang dari dapur. Aromanya menguar memenuhi ruang tempatku duduk. Lantai kayu hitam berdecit ringan mengiringi kakiku menuju dapur. “Hatchiiiim, hatchiiim...”

Bersinku tak terkendali. Kulihat pinggan putih di meja bulat sudah terisi irisan tipis kentang goreng berbalut cabai merah. Ah tak tahan kuulurkan tanganku untuk mencicip ketika tepukan lembut dibahu membuatku urung.

“Cucilah tangan dulu Andin dan lekas panggil Ayah dan Kak Feri di depan,” Ibu menatapku dengan tersenyum sambil matanya bergerak lucu kearah ruang depan tempat Ayah dan Kak Feri mengobrol.

“Bolehlah cicip dikit Bu?” ujarku dengan tatapan memohon.

“Tak nak!, Tak elok anak perawan suka incip, nanti tak baik kalo sudah besar” Ibuku menjawab dengan sabar sambil mendorongku ke arah ruang tamu.

Aku bergegas menemui Ayah, kulihat sepupuku sedang asyik menghirup cuko berwarna hitam bikinan ibu. Gigi putihnya menyembul dari balik mangkok ketika melihatku mendekat. Kak Feri anak Makwo Eteh, ponakan Kakek. Usianya hampir 14 tahun, beda 5 tahun denganku. Berkulit putih dan berbadan gempal hampir seukuran Juno. Mungkin Kak Feri kalah tinggi dibanding Juno tapi Kak Feri jelas lebih tampan dibanding Juno. Aku tersenyum mebayangkan Juno bertemu dan berkelahi dengan Kak Feri, menebak siapa yang bakal menang. Seandainya Kak Feri tinggal dekat denganku aku akan mengadu setiap detik, mengadukan perlakuan teman-temanku, mengadukan Juno yang tak pernah ramah denganku. Rasanya menyenangkan hanya dengan membayangkan.

“Pagi-pagi sudah ngelamun aja adeknya kakak,” sapa Kak Feri hangat. Pipiku memerah ketahuan melamun.

“Kapan Kak Feri nyampe?” sahutku cepat menutupi gugup karena ketahuan membayangkan yang tidak-tidak.

“Baru lah, baru abis 8 ikok pempek” sahut Kak Feri dengan senyum lebar.

Ayah menghirup kopi hitam dari gelas panjang di atas meja, mengabaikan kami. Ayah sibuk dengan pikirannya sendiri. Kulirik meja segi empat kecil yang terlihat penuh dengan dua gelas kopi, cuko dan piring berisi pempek. Hanya tersisa dua buah pempek lenjer di sana, kuambil dan kumakan tanpa cuko. Aku masih mengunyah pempek kedua ketika Ibu mendekat dan mengajak kami ke dapur untuk sarapan nasi.

Kak Feri dan Ayah makan dengan lahap.

“Loh katanya dah habis 8 ikok pempek, ih kok masih kelaparan?” protesku melihat Kak Feri makan. Yang ditanya hanya senyum-senyum karena mulutnya penuh dengan makanan. Ibu kembali menepuk pundakku.

“Iya, nggak boleh bersuara kalo lagi makan, kecuali kentut,” jawabku dengan cemberut. Ayah hampir tersedak mendengar jawabanku lalu bunyi seperti kentut yang ditahan terdengar. Aku celingukan mencari siapa yang kentut. Dan senyum lebar Ayah menjawab rasa penasaranku.

“Maaf, nggak sengaja,” kata Ayah masih dengan senyum pepsodennya. Kak Feri dan Ibu ikut tertawa kecil.

Bersambung...

 



Mudik..

Lebaran..

Ya Makan ketupat dan opor rendang.

Tapi apa daya itu tidak berlaku untukku sebagai anak rantau.

Jika yang lain bisa mudik ke kampung halaman nun jauh disana, di tengah hutan rimba dan deretan rumah panggung yang berjejer rapi dengan suasana hangat naik turun tangga untuk saling mengunjungi dan menuntaskan silaturahmi.

Aku mudik ke desa tapi bukan untuk mencari kehangatan sambutan orang tua tapi lebih untuk menemani suami menuntaskan rindunya kepada kampung halamannya yg indah.

Bukan aku tak bersyukur dengan yang ada.

Di sini aku bisa wisata kuliner kemanapun selagi dompet cukup. Mencoba cita rasa pecel Ngawi, Soto Mbah Tunggak perbatasan wilayah Magetan dan Ngawi, sate gule kambing khas Ngawi yang dicampur dengan taburan sambal kacang dan kecap, tahu tepo, kripik tempe dan tentunya pemeran utamanya adalah ayam panggang ayam kampung, lagi-lagi di Magetan pinggiran yang tidak jauh dari kampung halaman suami.

Disini aku juga bisa healing gratis mengelilingi rumah tempat suamiku dibesarkan. Pohon Jati di belakang rumah, bisa kupakai untuk backgroud foto yang cantik. Ada banyak bangunan tua yang tampak estetik bagi mereka yang suka bergaya. "Selep" tua di halaman yang super luas di depan pendopo cantik juga menjadi tempat favorit untuk berpose. 

Alhamdulillah senang bisa mudik ke kota ini.

Silaturahiim dari Bulik satu ke bulik lain, ke Mbah, Budhe dan banyak kerabat yang tak bisa disebut satu persatu. 

Perlahan aku mulai jatuh cinta dengan rutinitasku mudik ke kampung suami meskipun yang kami tuju adalah rumah besar yang hanya berpenghuni bila lebaran tiba. Rumah yang banyak menyimpan kerinduan bagi suamiku, rumah yang banyak menyimpan kenangan manis.

Jika ada yang membuatku sedikit kesal disini itul adalah opor dan rendang. 

Aku berharap  ada yang menjamu atau menawarkan untuk makan rendang dan opor di rumahnya tapi sampai belasan kali aku mudik tak pernah terjadi. 

Aku membayangkan riuhnya lebaran di rumah panggung biruku nun jauh di pelosok Sumatera.

Aroma opor ayam sengan potongan nanas membuatku menelan ludah, potongan ayam yang tak pernah kecil, lontong buatan mami dan dilengkapi rendang malbi dan sambal goreng hati ampela dan pete duh nikmatnyaaaa.

Aku ingin sekali saja merasakan makan opor pada waktu lebaran tapi sampai sekarang belum terwujud.

Akun tak punya orang tua di kota ini, orang tua suamiku telah lama tiada dan ternyata di Jawa tradisi makan opor bukan pada saat lebaran melainkan seminggu setelah puasa Syawal.


Jadi ketika aku sudah arus balik ke Surabaya, barulah bulik paklik dan saudara sekampung memasak opor, membuat ketupat, sambal goreng hati dan rendang. 

Aaaah kenapa harus gitu.

Duh jadi kesal kalau ingat dan ngebayangin meja besar di ruang makan rumah panggung biruku yang dipenuhi masakan kesukaanku.

Kubayangkan Mami meladen tetamu yang datang  selesai sholat ied untuk makan satu hidangan di rumah yang mengundang. 

Opor nanas oh opor nanas..

See you next year at Eid Fitri

Bismillah..



Total Tayangan Halaman

Popular Posts

www.penulistangguh.com. Diberdayakan oleh Blogger.