Entah mengapa untuk kesekian kalinya kejadian itu terulang lagi.

Aku tak pernah merasa tersingkirkan ketika percakapan mereka seakan tidak menyertakanku. 

Mereka berdiskusi tentang sesuatu yang memang jauh dariku. Tapi bukan berarti aku diabaikan, hanya seperti sesuatu yang aku merasa enggan untuk memberikan tanggapan. Dan sekali lagi itu juga bukan karena mereka tapi lebih kepada aku.

Ada kalanya aku mencoba menerka perasaan mereka terhadapku. Apakah aku masih penting bagi mereka, atau aku sudah semakin jauh dari kata akrab. Benar adanya ketika seorang berkata, jika kau tak pandai mendekatkan diri, jarak adalah musuh terbesarmu. Sebenarnya kata-kata ini kusimpulkan sendiri, hihi..

Padatnya aktivitasku membuatku semakin jauh dari yang dulu, biasa dekat.

Aku sibuk dengan duniaku. Weekend adalah waktuku untuk recharge energi untuk kembali fit di hari Senin. Jadi benar yang terjadi, chat-chat dan obrolan mereka bukan prioritasku lagi. Meskipun aku ingin, aku sudah tak fokus lagi. 

Tapi ada satu hal yang sering membuatku sedih. Selalu ada salah paham diantara mereka. Dan lucunya ketika ada yang ingin meluruskan atau sekedar menjelaskan, yang biasanya adalah aku, mereka seperti tak mau mendengar. Mereka lebih senang mengumbar ego dan yang meng-iyakan. Yang menjadi tertuduh adalah mereka sendiri secara bergiliran. Aneh rasanya, melihat kejadian aneh yang terus terjadi seperti ini.

Karena aku hanya bisa bercerita lewat tulisan, aku menuliskannya disini.



Notifikasi tak berhenti sepanjang hari hampir seminggu ini. Gempita Kemerdekaan semakin riuh. Bahkan warung biru tempatku biasa membeli makan siang sudah ramai dengan ornamen merah putih.

Sore tadi, Sachio melangkah pelan menuju sofa dan mulai sibuk dengan handphone-nya. Ucapan salam yang biasanya menggema dan menjadi rutinitas yang awalnya lucu, tak terdengar. Aku memandang suamiku dengan tatapan bertanya. Tapi suamiku hanya mengangguk pelan.

Adzan Maghrib menggema, Sachio yang tak pernah meninggalkan musholla, tak beranjak dari sofa. Ketika suamiku mencoba mengingatkan, Sachio bertanya apakah boleh sholat di rumah saja. Dan suami tanpa membantah langsung meng-iyakan.

Begitupun ketika adzan isya datang, Sachio kembali meminta izin untuk sholat di rumah.

Ketika selesai makan malam, Suami bertanya kenapa Sachio sedih. Sachio langsung terlihat menahan tangis sambil bercerita, "Kenapa Chio kalah Ayah, padahal Chio bisa, lomba tadi Chio pinter tapi katanya Chio juara tiga".

Bagi Chio, menang adalah juara satu. Padahal saat penyisihan lomba, dia selalu juara satu. Memang pada saat final, juara tiga.

Suami langsung mengingatkan Chio. "Kalau nggak mau kalah, nggak usah ikut lomba nak. Tapi kalau nggak ikut lomba, Chio nggak akan pernah tahu apakah kalah atau menang. Kalah menang adalah hal biasa nak, itu adalah salah satu cara untuk kita bisa menjadi lebih tangguh." 

Chio masih belum bisa menghilangkan kecewa di hati. Selalu begitu, setiap kali ada lomba, Chio belum bisa seratus persen menerima. Tapi Suami juga tak pernah lelah mengingatkan meskipun kadang aku yang mendengar juga  bosan.

Alhamdulillah semakin kesini, Sachio semakin bisa menerima, meskipun selalu diawali dengan kesedihan dahulu.

Chio.. Chio.. Dibalik sikapmu yang lembut dan mandiri, masih banyak hal yang harus kau pelajari, salah satunya adalah sikap nerimo.

Terima kasih ayah, yang tak pernah lelah mengingatkan Chio jika salah, dan membimbing Chio selalu.




Aku dan Kak Feri belajar bersama di ruang depan. Sambil kembali menjelaskan mengenai KPK dan FPB, Kak Feri membuat salinan rumus di buku tebal disampingnya. Kak Feri kelas tiga SMP dan langganan juara. Kak Feri selalu menghindar setiap kutanya mau lanjut SMA kemana. Jawaban basa basinya adalah belum tahu. Tapi aku menduga Kak Feri bohong. Ayah pernah terpeleset omongan bahwa Kak Feri akan melanjukan Sekolah ke luar pulau. Aku menduga paling jauh adalah Palembang, tapi Palembang bukan luar pulau.

Tepat jam dua belas, adzan Dzuhur berkumandang. Kak Feri menutup buku sambil menepuk kepalaku dengan sayang.

“Kakak yakin, Andin bisa menjadi yang terbaik di kelas, pemahaman Andin sudah bagus,” ujar Kak Feri sambil berdiri dan menyeret kursi ke belakang.

“Tapi bagaimana kalau hasilnya tidak sesuai harapan?” aku menatapnya dengan ragu.

“Harus percaya diri dong Adek Kecil,” sahut Kak Feri sambil tertawa.

Aku baru ingin membantah ketika Ayah menghampiri Kak Feri menyuruhnya bergegas wudhu dan mengajaknya sholat ke masjid besar di Kampung Sebelas. Rumah kami terletak di kampung tujuh, berjarak sekitar lima ratus meter dengan masjid besar dan satu satunya di desa.

 

Juno

Minggu adalah hari libur bagi teman-temanku. Kadang saat mengantar kopi keliling kampung aku menemukan mereka bergelantungan di pohon Sawo di atas sungai besar yang membelah desa. Di saat lain mereka  berteriak senang menangkap ular sawah dengan badan penuh lumpur atau bermain Benteng di lapangan depan langgar. Anak perempuan lebih sering berlama-lama mandi dan mencuci di batu besar pinggir sungai sambil bermain air. Setelah badan menggigil karena hampir dua jam berendam di sungai mereka  akan duduk di akar Pohon Sawo dan membuka bekal yang dibawa dari rumah, makan dengan lahap sambil berbagi lauk.

Dimanapun teman-teman bermain dan menikmati hari, aku tidak menemukan sosok Andini. Kadang aku ingin hari berganti cepat ke Senin sehingga aku bisa bertemu dengan si gadis jutek itu.

Andini punya dunianya sendiri. Dia hanya akan ditemui di ayunan tua di belakang rumah, memeluk buku kesayangannya atau di meja ruang depan yang telihat  jelas dari seberang jalan. Asyik dengan buku pelajarannya.

Siang ini aku seharusnya mengantar kopi ke warung toke Ihsan di perempatan. Kuambil jalan memutar ketika pulang dan melewati rumah Andini. Ada motor Suzuki merah di parkir di bawah pohon Nangka di depan rumah Andini. Itu motor sepupunya.

Memuaskan rasa ingin tahuku, sepedaku kuayun sepelan mungkin. Andini sedang berkonsentrasi dengan buku di depannya. Dihadapannya, lelaki berkulit putih dengan rambut disisir menyamping, tampak geli sendiri sambil memainkan ekor kuda Andini. Tanpa sadar aku menarik tuas rem terlalu kencang hingga sepeda berhenti tiba-tiba. Andini mengangkat kepala dan  melihat ke arah jalan raya, tempat aku berdiri mematung di atas sepeda. Raut mukanya berubah cepat menjadi kaku. Dipalingkan cepat kepalanya kembali menekuni apa yang tadi diabaikannya sesaat.

Kukayuh sepeda sekencang yang kumampu. Mengapa aku harus peduli apa yang dilakukan Andini. Aku bahkan tak berteman dengannya. Tapi aku tahu setiap malam aku membayangkan bisa dekat dengan Andini, menjadi temannya, mengajarinya lompat jauh, lompat tinggi dan permainan bola kasti.

Aku ingin menjadi teman Andini. Aku ingin mendengar ia berbicara tentang novel-novel yang dibacanya. Aku ingin mengajarinya membuat pantun. Aku pintar membuat pantun dan puisi, Andini seharusnya tahu itu.

Tapi setiap kali aku ingin meyapa Andini, ucapan uwak Marzuki kembali terngiang di telingaku. Desas-desus orang kampung memang sampai di telingaku. Juno anak titipan. Juno anak buangan. Anak penunggu kebun. Anak siluman. Setiap kali ingin membantah, aku melihat kembali kulit legamku. Dan aku menyerah pada takdir yang entah akan membawanya menjadi apa.

Sebentar lagi ujian sekolah. Aku tahu aku tak akan lama lagi bisa melihat Andini. Lepas SD, kakeknya pasti akan menyekolahkannya di SMP terbaik di kota, mungkin di Palembang.

Waktuku tidak banyak. Aku harus bicara pada Andini. Aku hanya punya kesempatan sekarang, sebelum kelulusan. Aku harus mengembalikan buku tulis Andini dan meminta maaf atas semuanya.

Aneh rasanya membayangkan sekolah tanpa melihat si kutu buku jutek itu. Apakah aku bisa meminta bapak untuk menyekolahkanku ke kota juga agar bisa satu sekolah kembali dengan Andini. Tapi secepat khayalanku datang, secepat itu juga kutepis. Mana mungkin anak buangan sepertiku bisa bersekolah di kota seperti Andini.

Aku tak pernah tahu masa depan apa yang akan menjemputku. Hingga pada suatu sore yang gerimis, sebuah mobil Hardtop merah melintas di desa dan berhenti tepat di depan rumahku. Dan sejak saat itu garis hidupku berubah total. Aku bukan lagi Juno si anak buangan.

Aku Juno Damari bukan anak siluman...

Bersambung...




Untuk Anakku tersayang

Bolehkan Ibu ingin sedikit bercerita…..

Suatu pagi aku terbangun, wajah kecil anakku yang tertidur lelap membuatku tertegun. Tiba-tiba aku teringat bentakan kerasku tadi malam, hanya karena anakku lupa merapikan peralatan sekolahnya.

“Anakku, mungkinkah aku terlalu keras padamu.”

“Tapi bukankah yang kuinginkan adalah yang terbaik untukmu juga nak.”

Aku ingin kau menjadi anak yang hebat dan bahagia. Kau harus lebih daripada ibu sekarang.

Nak, maaf jika Ibu sering membandingkanmu dengan yang lain bahkan kepada kakakmu sendiri.

Nak maafkan Ibu yang terlalu banyak meminta, ibu lupa nak, kau hanyalah anak kecil yang sedang belajar memahami sekitarmu.

Maafkan Ibu nak, Ibu terus dan terus menasihatimu padahal yang kau butuhkan bukan nasihat tapi teladan dari ibu.

Ibu marah ketika kau lalai mengerjakan tugasmu, padahal ibu sering menunda kewajiban ibu.

Ibu marah melihatku merengek meminta ini itu padahal kau hanya ingin perhatian ibu.

Ibu lupa nak, yang kau butuhkan bukan nasihat tapi kasih sayang dan perhatian dari ibu.

Ibu lupa kapan terakhir kali ibu memujimu,

Ibu lupa kapan terakhir kali menemanimu bermain

Ibu lupa kau adalah anak ibu, yang seharusnya lebih sering didekap dengan sayang dibanding bentakan dan ancaman.

Kapan terakhir kali Ibu mengecup keningmu nak, iya ibu ingat, ibu mengecup keningmu dengan tergesa, ketika mengantarku ke sekolah, hanya sebuah rutinitas bukan keikhlasan.

Nak, belum terlambat bukan, jika ibu ingin memperbaiki kesalahan ibu

Jadikan ibu sahabatmu nak, jangan benci ibu. Ibu akan selalu mendampingimu hingga kelak kau sudah besar dan bisa mengepakkan sayapmu sendiri terbang menggapai cita dan asamu.

Nak, kau adalah peniru ulung, kau mungkin salah mendengar nasihat ibu, tapi kau tak pernah salah meniru.

Jika hadiah terbaik dari seorang ayah pada anaknya adalah pendidikan dan pengasuhan, hadiah terindah dari seorang ibu adalah kasih sayang..

 

Untuk Ibu-ibu Hebat dimanapun berada,

"Anak-anak tidak pernah baik dalam mendengarkan orang yang lebih tua. Namun, anak-anak tidak pernah gagal dalam meniru orang yang lebih tua." - James Baldwin.

Tak perlu pergi ke ujung dunia untuk belajar tentang cinta dan keikhlasan karena pelajaran itu dapat kau lihat dari sosok seorang ibu."

"Siapakah yang paling setia mendoakan anak dan paling tulus mencintai kebaikan serta keburukan sang anak? Orang tua.”

Bu, kamu adalah sahabatku, guru pertamaku dan pembimbingku. Apa pun aku hari ini, adalah karenamu."

"Jika mentari tenggelam dan meredupkan cahayanya, cinta dan kasih ibu kepada anaknya tak akan pernah hilang hingga akhir hayatnya."

"Seorang ibu adalah dia yang dapat menggantikan semua yang lain tetapi yang tempatnya tidak dapat diambil orang lain." - Cardinal Mermillod

 

 

Surabaya, 10 Juni 2023

Untuk Semua Ibu Hebat Puri Cendekia




Aku mengingatmu.
Kau yang selalu menjaga jarak aman dariku.
Dengan badan tegap dan kulit kecokelatan yang kau dapat dari keseharianmu, fisikmu jauh melampaui teman-temanmu.

Tak seperti kami, kau selalu datang terlambat.
Dengan badan penuh keringat dan seragam yg  tampak lusuh, kau menjelaskan alasanmu.
Sekilas kulihat rona malu membanjiri wajahmu ketika teman sekelas kita mulai menyorakimu.

Kau tak pernah dekat denganku.
Bahkan kupikir kau sengaja menjauhiku.
Kau terlihat sebal setiap kali aku dianakemaskan guru.

Kau mungkin tak pernah tahu,
Betapa aku ingin berteman denganmu.
Betapa aku ingin menjadikan kau sahabatku.

Kau mungkin mengira

Aku hanyalah anak manja
Yang selalu mendapatkan hak hak istimewa karena aku anak kepala sekolah.

Aku mencarimu
Mencari khabarmu di setiap kepulanganku.
Tapi kau menghilang.

Hingga saat ini, aku masih merindukanmu
Sahabatku.

#SahabatMasaKecil



Tahu dong makanan khas Palembang.

Iya bener, Pempek.

Meskipun kalau mau disebutkan sebenarnya enggak cuma itu, ada Model, Tekwan, Mie Celor, Tempoyak, Pindang, Kemplang daaaan banyak lagi.


Kami di pelosok enggak terlalu banyak makan pempek ikan karena memang di pelosok susah cari ikan belida atau tenggiri yang jadi khas bahan pempek.


Aku ingat, aku mulai mengenal makanan orang kota ketika pertama kali datang ke Kabupaten Lahat. Iya, aku disekolahkan di SMP Kabupaten, sekolah terbaik di Kabupaten, Sekolah Orang Berduit karena memang bayarnya cukup mahal bagi kami yang biasa sekolah di pelosok.


Aku tinggal di Perumnas, rumah milik Mami Papi yang kosong. Aku tinggal di Perumnas ditemani Cik Nis almarhumah, adik Mami.

Di Perumnas aku punya banyak tetangga yang baik hati. Di Perumnas kami punya langganan bakso dan pempek. Pempek yang kumaksud adalah pempek kates.


Pempek Kates bentuknya persis seperti pempek kapal selam dengan bentuk yang lebih kecil dan isi di dalamnya adalah tumisan kates muda yang sangat nikmat. Pertama kali makan langsung jatuh cinta. Dicelup di cuko pempek yang kental, hitam dan pedas rasanya sangat enak.


Pempek Kates ini dijual keliling oleh seorang makcik. Setiap jam empat sore. Aku selalu tak sabar menunggunya dan harganya pun sangat murah yaitu lima ratus rupiah.

Sejak pertama kali menikmati pempek kates khas di Kota Lahat, lidahku selalu merindukannya, hingga saat ini.


Sekarang gerai pempek di mana-mana dengan embel-embel khas Palembang Ilir, Khas Wong Kito Galo. Varian yang dijual juga banyak dari mulai kapal selam, lenjer, pempek tahu, pempek adaan, pempek keriting, pempek kulit tapi tidak
ada satupun yang jual pempek kates.

Entah kenapa Pempek Kates ini sangat langka, apa mungkin ini khas dari Kabupaten Lahat saja hingga susah dicari.

Satu yang pasti, pempek favoritku adalah Pempek Kates.



Papiku seorang pengajar.

Papiku adalah seorang pembaca.

Papiku adalah orang pertama yang mengenalkan buku kepadaku.


Tinggal di pelosok Provinsi Sumatera Selatan, aku hidup di kaki Gunung Dempo yang dipenuhi tanaman teh. Pagi dan malam udara membuat tubuh kami menggigil. Aku tinggal di dusun kecil jarak satu hutan dengan kecamatan Muara Pinang.

Papiku dan Mamiku adalah kepala sekolah dan sekolahku adalah bangunan paling ujung dari dusun yang berbatasan langsung dengan hutan lebat, tapi kali ini aku tidak ingin bercerita tentang sekolahku dan kampungku, aku ingin membagikan cerita tentang kesukaan pertamaku pada buku.


One of the advantage of principal in that era is you could keep the book in your house if your school have no place for it.

Papi punya rak rahasia yang tidak boleh dipegang kecuali atas ijinnya. Rak rahasia papi berisi buku-buku sastra yang sangat bagus. Beberapa yang kuingat adalah Buku buku terbitan Balai Pustaka seperti Siti Nurbaya, Dendam Tak Sudah, Atheis, Dibawah Lindungan Ka'bah, Perempuan Di Sarang Penyamun, Sengsara Membawa Nikmat dan banyak lagi buku-buku yang sekarang seolah asing di telinga kita.


Ketika itu aku masih kelas empat, dan entah kenapa meskipun tidak pernah les dan belajar calistung atau lainnya meskipun tinggal di dusun, di pelosok yang jauh dari pembangunan aku bisa membaca dengan sangat lancar.

Papi melihat ketertarikanku dengan buku, akhirnya menawarkan sebuah perjanjian jika aku bisa menamatkan satu buku dalam satu hari aku boleh membaca buku Papi.

Aku bahagia dengan tawaran Papi.

Alhamdulillah setiap hari sepulang sekolah aku akan tak sabar membaca buku dari Papi.


Buku pertama yang kupilih adalah Atheis, buku dengan cover hitam tebal. Tapi Papi bilang jangan langsung yang berat. Aku memilih buku lainnya dan pilihanku jatuh pada Buku Sengsara Membawa Nikmat. Aku membaca buku sampai habis dan malamnya aku mengembalikan buku yang selesai kubaca. Papi tidak banyak bicara hanya bertanya apakah aku menyukai ceritanya, dan aku menjawab suka.


Aku masih giat membaca sampai akhirnya buku di rak rahasia Papi habis dan aku dikenalkan dengan buku-buku cerita anak SD dari mulai fabel sampai cerita pahlawan seperti Kisah Hang Tuah, Gadjah Mada dan lainnya.

Dari banyak buku yang kubaca, aku paling suka buku di rak rahasia Papi. Papi bilang itu adalah buku dengan kualitas terbaik karena ditulis oleh sastrawan hebat yang kelak akan selalu diingat dan dikenang. 


Aku sempat berdiskusi tentang buku Atheis, tapi Papi bilang aku masih terlalu kecil untuk mengerti. Tapi Papi selalu berkata, jangan berhenti membaca karena buku adalah jendela dunia. Mungkin karena kesukaanku yang besar dengan buku akhirnya Papi mengirim aku  ke sekolah yang menurutku aneh bagi anak dusun sepertiku.


Iya, lepas SD aku dikirim ke kabupaten dengan angkutan yang kupanggil taksi. Taksi adalah angkutan seperti angkot di Pulau Jawa.

Di sekolah ini, aku melanjutkan hobbyku membaca. Aku bersyukur Papi menyekolahkanku di sekolah ini. Di sekolah ini aku bisa menghabiskan banyak buku dan mengenal banyak pengarang hebat yang sampai sekarang masih menjadi idolaku.


Aku akan bercerita tentang masa SMP-ku yang luar biasa di cerita selanjutnya.

Terima kasih Papi, yang sudah mengenalkanku dengan buku, tidak melarangku untuk memegang buku-buku kesayangan Papi dan selalu memberikanku semangat yang untuk membaca dan terus membaca.


 


Suatu hari notifikasi muncul di gawaiku.

Aku masih asyik dengan Novel Robert Galbraith ketika notifikasi lain muncul.

Kisah Robin dan Si Raksasa Cormoran Strike lebih menarik perhatianku daripada denting notif di gawaiku.

Jam 3 sore, anak lelakiku sudah sibuk menyiapkan sarung dan sajadah bersiap berangkat ke Musholla.

Aku meletakkan novel setebal 560 halaman di nakas dekat tempat tidur dan mulai beranjak ke arah dapur.

Kesibukanku baru berhenti tepat di jam 16.30, bersiap mandi dan sholat ashar.


Lepas Maghrib aku baru sempat melihat gawaiku.

Pesan bertubi datang dari group kecilku. Ajakan untuk kumpul bersama disambut riuh oleh temanku. Sambil saling bersahutan menentukan tempat bertemu. Aku tersenyum membaca pesan mereka, sambil berpikir alangkah indahnya jika nanti kami bisa bertemu disela kesibukan kami masing-masing yang seakan memenjarakan kami.


Tiba-tiba aku teringat, hari yang disepakati adalah hari aku dijadwalkan bertemu dengan salah satu temanku untuk pembahasan penting.

Aduh jadi enggak enak mau komen sementara yang lain sibuk memanggil namaku untuk memberikan respon.

Akhirnya aku memberanikan diri menulis permintaan maaf tidak, bisa ikut.

Tentu banyak hati yang kecewa, termasuk diriku 

Tapi aku juga tak bisa mengganti hari. Ah mungkin belum rejeki saja, next time pasti bisa.


Sambil melanjutkan novel yang tadi kubaca tiba-tiba aku teringat ini sudah kali ketiga kami tidak bisa meet up.

Dan lebih banyak aku yang selalu berbenturan jadwal padahal diawal selalu aku yg diminta menentukan tanggal. Dan entah kenapa selalu ada jadwal dadakan yang membuat acara kami batal.

Aku mulai menutup novel dan berpikir lama.


Aku mulai merasakan perasaan bersalah kepada teman temanku.

Aku ingat dulu aku selalu bisa menemukan waktu untuk berkumpul atau sekedar melepas rindu.

Kadang kami rujakan, makan bakso bareng atau sekedar nyemil gorengan di teras rumah.

Apakah karena sekarang aku bekerja aku mulai susah mengatur waktu. Apakah sekarang waktuku habis untuk bekerja.


Tapi aku selalu bisa menyempatkan diri untuk jalan-jalan, disela-sela sambangan Kakak di Pondok Pesantren. Aku juga selalu menyempatkan kulineran di tempat makan favorit di akhir pekan. Tapi aneh kenapa aku selalu berbenturan jadwal dengan acara meet up group kecilku?


Tiba-tiba aku seperti tertampar.

Astaghfirullah

Apakah aku mulai menepikan teman temanku.

Apakah aku mulai mengesampingkan group kecilku.

Apakah mereka bukan lagi prioritasku?

Apakah aku sudah meletakkan mereka di tempat yang bukan prioritasku lagi?

Iya... aku bukan terlalu sibuk

Aku bukannya sudah punya janji dengan yang lain.

Yang aku lakukan adalah menempatkan mereka sebagai prioritas kedua.


Jika saja aku masih menempatkan group kecilku di prioritasku, aku akan selalu menemukan waktu yang tepat untuk meet up.

Maafkan aku temanku.

Maafkan aku..


 

Apa itu MILES?

Sebuah video tiktok lewat di beranda.

Ups.., ketahuan deh punya aplikasi Tiktok.

Tapi Bismillah selama digunakan untuk hal yang bermanfaat masih diperbolehkan.


Cerita inspiratif pertama kali kita dengarkan, pasti akan membuai pendengarnya, termasuk saya.

Sangat menyenangkan mendengarkan seorang mentor bicara. Adrenalin meningkat, sikap pesimisme hilang, semangat membara dan tak sabar ingin melakukan apa yang diajarkan sang mentor.

Pulang dari acara, kata-kata penyemangat masih lalu-lalang di kepala, sambil rebahan membayangkan kesuksesan yang ada di depan mata, mulai menghitung cuan dan tertawa sendiri bahagia.


Tapi setelah beberapa hari, kata-kata itu mulai tak berarti, pesimisme muncul, ternyata tak semudah itu menjadi sukses. Mulai lelah dengan usaha yang tak terlihat progressnya. Akhirnya menyerah.


Sang mentor lupa menyampaikan materi ini.

Sang mentor sibuk membuai peserta.

Ada banyak faktor yang sangat mempengaruhi kesuksesan seseorang.

Tak banyak orang memilikinya.

Sehingga disebut Unfair Anvantages.

Apa saja itu?


M for Money

Orang yang sudah tajir dari lahir pasti lebih mudah untuk sukses, karena Money is everything lah. Semua bisa diatur jika punya Money. Semua lebih mudah didapat dengan adanya Money. Beda cerita kalau kita tidak punya Money.

Singkat cerita Money make everything possible.


I for Intelligence

Jika kita dibesarkan dalam keluarga yang mampu dan berkecukupan dengan makanan bergizi, tingkat inteligensi kita tentu berbeda dari keluarga yang tidak mampu meskipun tidak selalu. Intelligence ini sangat menentukan dengan daya saing kita ketika mulai berkompetisi. Orang yang terlahir dengan Intelegensi tinggi pasti lebih capable dibanding yang Intelegensinya rendah.


L for Location

Lokasi atau tempat kita berada berpengaruh pada peluang kesuksesan kita. Orang yang dibesarkan di kota dengan banyak kesempatann yang bisa dicoba, dengan segala kemudahan, pasti akan lebih berhasil dibanding orang yang terlahir dan besar di pinggiran atau kota kecil yang semua serba sulit untuk digapai 


E for Education.

Banyak yang bilang ijazah tak penting, pendidikan tak penting. Mungkin untuk beberapa keahlian seperti petani atau pedagang kecil ijazah dan pendidikan adalah hal kesekian. Tapi ditengah gempuran tekhnologi dan berkembanganya semua sektor, pendidikan sangat menentukan. Setiap posisi pasti menginginkan orang yang benar-benar expert di bidang itu. Jadi salah satu yang mempengaruhi kesuksesan tentu pendidikan atau Education.


S for Status

Strata, kedudukan, jabatan serta kasta adalah salah satu yang masuk dalam unfair anvantages. Bukan rahasia jika anak pejabat pasti lebih mudah dibanding anak petani. Jabatan, kedudukan adalah faktor yang mempengaruhi proses sukses seseorang 


Pertanyaannya

Jika kita tidak punya 5 hal yang disebutkan diatas apakah kita masih berpeluang menjadi sukses?

Jawabannya Tentu Bisa

Masih banyak anvantages lain yang bisa kita gunakan.

Lebih detail di posting berikutnya.





Jika ingin mengurai sejarah, hampir semua orang disekelilingku adalah guru.

Mami Papiku adalah Kepala Sekolah SD berpuluh puluh tahun di SD negeri di pelosok Sumatera.

Adikku Guru Bahasa SMA, adik iparku guru SMA.

Keluarga Papiku di Yogyakarta hampir semuanya guru dari mulai TK, SMP, STM hingga SMA.

Aku terlahir di lingkungan pengajar.

Jika liburan tiba, aku disuguhi cerita beraneka macam tentang kejadian di sekolah. Setiap hari aku diajak berdiskusi tentang murid-murid Mami Papi. Setelah dewasa aku mulai mengenal istilah-istilah sertifikasi, RPP, evaluasi kualitatif, evaluasi kuantitatif, project, buku panduan mengajar dan lainnya.

Secara tidak sadar, aku diajak masuk kedalam dunia guru. Aku jadi ingat pesan Mamiku, "Kalian anak anak Mami, kalo idak jadi guru, yo jadilah tenaga kesehatan," kami yang waktu itu masih kecil tidak begitu mendengarkan, tapi aku pernah bertanya, "kenapo cak itu Mami?, kenapo idak boleh jadi lainnyo?" Dan Mami menjawab, "Yo kalo jadi guru kan melanjutkan profesi Mami Papi, kalo jadi tenaga kesehatan kan pacak ngerawat Mami Papi kalo lah tuo".

Cukup lama baru aku menyadarinya, itu adalah keinginan sederhana dari orang tua, berharap anaknya bisa menjadi anak yang berhasil dan juga berbakti meskipun dikatakan dengan kalimat yang sederhana dan to the point.

Lepas SMA aku mencoba kuliah di Akademi Gizi Poltekes Yogyakarta. Alhamdulillah aku senang dan menikmati. Lepas dari kuliah aku tidak tertarik untuk kerja di Rumah Sakit ataupun Puskesmas seperti teman yang lainnya.

Aku sendirian mencoba masuk di dunia farmasi.

Alhamdulillah bergabung di Perusahaan Farmasi terbesar di Indonesia aku dapat banyak pengalaman dan juga cuan, haha..

Tapi setelah 8 tahun aku mulai tertarik untuk kembali kebidang awal aku kuliah yaitu ahli gizi.

Aku pindah menjadi Ahli Gizi di perusahaan PMA besar dan bertahan hingga 5 tahun sampai akhirnya aku harus resign dengan banyak pertimbangan.

Di tengah perjalananku sebagai Ahli Gizi, aku  tertarik dengan bidang yang dulu sempat kusisihkan. Setelah menjadi bagian dari Tsundoku, hihi... Aku ingin menikmati karya luar yang aseli dan aku akhirnya mencoba tantangan baru kuliah sambil bekerja dan bidang yang kuambil adalah Sastra Inggris sesuai dengan minat dan kegilaanku pada buku.

Jadi sebenarnya siapa sesungguhnya aku?

Aku masih sangat ingat kuliah Dietetika, Patologi Klinik, THP, Gizi Masyarakat. Aku juga masih suka utak-atik menu diet sambil menghitung jumlah kalori setiap porsi makanan. Aku suka memberikan konsultasi tentang ilmu gizi dan diet, aku menyukai semua hal tentang Gizi meskipun tak selalu aku praktekkan dalam keseharian, ups..

Aku selalu bergidik melihat minyak yang dipanasi berkali kali, ingat tentang wejangan salah satu dosenku tentang itu.

Disisi lainnya,

I love english, I love making conversation in english. I love practice it with people around me. I am far from expert but I am in love with english language.

Banyak novel sederhana level beginner yang sudah kutuntaskan. Classic genre is one of my favs. Dengan kuliah di Sastra Inggris aku jadi semakin tahu tentang sastra dan buku-buku yang wajib kubaca. I love reading much and  I lcollect books  like a psyco, haha.. Aku bahkan punya banyak koleksi yang mungkin hanya seperempat yang baru kubaca.

Dan,

Ketika akhirnya aku memutuskan untuk resign.

Sebuah kesempatan datang.

Aku diminta untuk menjadi guru, lebih tepatnya Guru Bahasa Inggris di sebuah lembaga TK.

Iya benar TK, Taman Kanak Kanak.

Dan lucunya aku menikmatinya.

Apakah ini  jawaban dari doa Mami?

Yang pasti aku menyukainya.



Jadi bagaimana bisa aku menjadi guru?


 


Jalanan desa penuh dengan siswa-siswi berseragam merah putih. Sekolah kami terletak di ujung desa berbatasan langsung dengan hutan Meruang yang terkenal angker. Rombongan babi hutan seringkali terlihat menyeberang pada jam enam ketika anak anak piket pagi.

Aku melewati Andini yang berjalan sendiri menenteng novel selebar buku tulis yang dibawanya sejak selasa. Anak ini kutu buku, aku tahu koleksi buku ayahnya sangat banyak. Aku pernah beberapa kali mampir ke rumah Kakeknya di hulu desa membawa kopi mentah untuk ditimbang. Di meja kayu panjang  di sisi teras samping, ada foto Andini dan Ayah Ibunya berlatar ribuan buku dari rak-rak kayu hitam. Andini berumur enam tahun di foto itu tampak bahagia dipangku orang tuanya.

Andini adalah gadis kecil yang kesepian. Teman baiknya adalah koleksi buku buku ayahnya. Tak punya saudara, tak punya teman dan tak punya kerabat. Ayahnya perantauan dari Jawa, Ibunya anak tunggal dari Uwak Marzuki. Satu-satunya teman yang terlihat dekat dengan Andini adalah Feri, sepupu jauhnya yang sekarang duduk di kelas tiga SMP. Tapi SMP terdekat berjarak hampir lima belas kilometer di dekat Pasar Baru di kecamatan, jadi mungkin hanya seminggu sekali Andini bisa bertemu sepupunya.

Meli pernah berkata Andini itu aneh, dia sering tertawa sendiri ketika membaca dan seperti berbicara sendiri di lain waktu. Bagiku itu juga aneh.

Aku pernah menegur Meli agar lebih akrab dan bersikap baik dengan teman sebangkunya. Meli balas melotot dengan marah “Kenapa tak kau sendiri yang akrab, kau malah jahat, setiap kali Andini menyapa hanya kau balas dengan tatapan”.

 

HARI MINGGU

Andini

Tak terasa kami sudah kelas enam. Sejak masuk tahun ajaran baru kami disiapkan untuk belajar dan mengikuti les tambahan dari Pak Sanusi. Ibuku sudah sering mengingatkanku untuk fokus dengn pelajaran dan mengurangi membaca novel.

Hari ini hari minggu, lepas pulang mengaji dari langgar Kyai Kip, aku duduk di ayunan tua di samping jendela besar yang menghadap ke kebun. Aku ingin menyempatkan membaca Buku Atheis. Aku sudah memohon selama hampir dua minggu pada Ayah agar diperbolehkan membacanya. Ayah sempat menunda-nunda dan berkilah masih banyak buku lain yang belum kubaca. Tapi buku yang ditandai Ayah sudah habis. Buku lainnya tak diperbolehkan karena belum cukup umur. Bahkan koleksi S Mara GD dengan Kapten Kosasihnya sudah habis kulahap. Aku tertarik dengan buku-buku ayah di rak kaca itu karena ada tulisan besar KARYA PUJANGGA BARU.

Sambil menimang buku bersampul hitam setebal hampir 500 halaman di tanganku aku melamun. Aku ingin menulis seperti Ayah. Aku ingin menjadi pendongeng hebat seperti Ayah. Dan aku akan menulis kisah yang bagus sampai diterjemahkan ke seluruh dunia. Ayah bilang buku yang bagus akan dibaca oleh semua bangsa. Buku yang bagus lekat di hati pembaca, meninggalkan jejak dan menjadi penyemangat bagi yang membaca. Aku ingin menulis buku seperti yang dimaksud Ayah.

 

Kisahnya baru dimulai ketika hidungku kembang kempis menghirup aroma sambal kentang dari dapur. Aromanya menguar memenuhi ruang tempatku duduk. Lantai kayu hitam berdecit ringan mengiringi kakiku menuju dapur. “Hatchiiiim, hatchiiim...”

Bersinku tak terkendali. Kulihat pinggan putih di meja bulat sudah terisi irisan tipis kentang goreng berbalut cabai merah. Ah tak tahan kuulurkan tanganku untuk mencicip ketika tepukan lembut dibahu membuatku urung.

“Cucilah tangan dulu Andin dan lekas panggil Ayah dan Kak Feri di depan,” Ibu menatapku dengan tersenyum sambil matanya bergerak lucu kearah ruang depan tempat Ayah dan Kak Feri mengobrol.

“Bolehlah cicip dikit Bu?” ujarku dengan tatapan memohon.

“Tak nak!, Tak elok anak perawan suka incip, nanti tak baik kalo sudah besar” Ibuku menjawab dengan sabar sambil mendorongku ke arah ruang tamu.

Aku bergegas menemui Ayah, kulihat sepupuku sedang asyik menghirup cuko berwarna hitam bikinan ibu. Gigi putihnya menyembul dari balik mangkok ketika melihatku mendekat. Kak Feri anak Makwo Eteh, ponakan Kakek. Usianya hampir 14 tahun, beda 5 tahun denganku. Berkulit putih dan berbadan gempal hampir seukuran Juno. Mungkin Kak Feri kalah tinggi dibanding Juno tapi Kak Feri jelas lebih tampan dibanding Juno. Aku tersenyum mebayangkan Juno bertemu dan berkelahi dengan Kak Feri, menebak siapa yang bakal menang. Seandainya Kak Feri tinggal dekat denganku aku akan mengadu setiap detik, mengadukan perlakuan teman-temanku, mengadukan Juno yang tak pernah ramah denganku. Rasanya menyenangkan hanya dengan membayangkan.

“Pagi-pagi sudah ngelamun aja adeknya kakak,” sapa Kak Feri hangat. Pipiku memerah ketahuan melamun.

“Kapan Kak Feri nyampe?” sahutku cepat menutupi gugup karena ketahuan membayangkan yang tidak-tidak.

“Baru lah, baru abis 8 ikok pempek” sahut Kak Feri dengan senyum lebar.

Ayah menghirup kopi hitam dari gelas panjang di atas meja, mengabaikan kami. Ayah sibuk dengan pikirannya sendiri. Kulirik meja segi empat kecil yang terlihat penuh dengan dua gelas kopi, cuko dan piring berisi pempek. Hanya tersisa dua buah pempek lenjer di sana, kuambil dan kumakan tanpa cuko. Aku masih mengunyah pempek kedua ketika Ibu mendekat dan mengajak kami ke dapur untuk sarapan nasi.

Kak Feri dan Ayah makan dengan lahap.

“Loh katanya dah habis 8 ikok pempek, ih kok masih kelaparan?” protesku melihat Kak Feri makan. Yang ditanya hanya senyum-senyum karena mulutnya penuh dengan makanan. Ibu kembali menepuk pundakku.

“Iya, nggak boleh bersuara kalo lagi makan, kecuali kentut,” jawabku dengan cemberut. Ayah hampir tersedak mendengar jawabanku lalu bunyi seperti kentut yang ditahan terdengar. Aku celingukan mencari siapa yang kentut. Dan senyum lebar Ayah menjawab rasa penasaranku.

“Maaf, nggak sengaja,” kata Ayah masih dengan senyum pepsodennya. Kak Feri dan Ibu ikut tertawa kecil.

Bersambung...

 



Mudik..

Lebaran..

Ya Makan ketupat dan opor rendang.

Tapi apa daya itu tidak berlaku untukku sebagai anak rantau.

Jika yang lain bisa mudik ke kampung halaman nun jauh disana, di tengah hutan rimba dan deretan rumah panggung yang berjejer rapi dengan suasana hangat naik turun tangga untuk saling mengunjungi dan menuntaskan silaturahmi.

Aku mudik ke desa tapi bukan untuk mencari kehangatan sambutan orang tua tapi lebih untuk menemani suami menuntaskan rindunya kepada kampung halamannya yg indah.

Bukan aku tak bersyukur dengan yang ada.

Di sini aku bisa wisata kuliner kemanapun selagi dompet cukup. Mencoba cita rasa pecel Ngawi, Soto Mbah Tunggak perbatasan wilayah Magetan dan Ngawi, sate gule kambing khas Ngawi yang dicampur dengan taburan sambal kacang dan kecap, tahu tepo, kripik tempe dan tentunya pemeran utamanya adalah ayam panggang ayam kampung, lagi-lagi di Magetan pinggiran yang tidak jauh dari kampung halaman suami.

Disini aku juga bisa healing gratis mengelilingi rumah tempat suamiku dibesarkan. Pohon Jati di belakang rumah, bisa kupakai untuk backgroud foto yang cantik. Ada banyak bangunan tua yang tampak estetik bagi mereka yang suka bergaya. "Selep" tua di halaman yang super luas di depan pendopo cantik juga menjadi tempat favorit untuk berpose. 

Alhamdulillah senang bisa mudik ke kota ini.

Silaturahiim dari Bulik satu ke bulik lain, ke Mbah, Budhe dan banyak kerabat yang tak bisa disebut satu persatu. 

Perlahan aku mulai jatuh cinta dengan rutinitasku mudik ke kampung suami meskipun yang kami tuju adalah rumah besar yang hanya berpenghuni bila lebaran tiba. Rumah yang banyak menyimpan kerinduan bagi suamiku, rumah yang banyak menyimpan kenangan manis.

Jika ada yang membuatku sedikit kesal disini itul adalah opor dan rendang. 

Aku berharap  ada yang menjamu atau menawarkan untuk makan rendang dan opor di rumahnya tapi sampai belasan kali aku mudik tak pernah terjadi. 

Aku membayangkan riuhnya lebaran di rumah panggung biruku nun jauh di pelosok Sumatera.

Aroma opor ayam sengan potongan nanas membuatku menelan ludah, potongan ayam yang tak pernah kecil, lontong buatan mami dan dilengkapi rendang malbi dan sambal goreng hati ampela dan pete duh nikmatnyaaaa.

Aku ingin sekali saja merasakan makan opor pada waktu lebaran tapi sampai sekarang belum terwujud.

Akun tak punya orang tua di kota ini, orang tua suamiku telah lama tiada dan ternyata di Jawa tradisi makan opor bukan pada saat lebaran melainkan seminggu setelah puasa Syawal.


Jadi ketika aku sudah arus balik ke Surabaya, barulah bulik paklik dan saudara sekampung memasak opor, membuat ketupat, sambal goreng hati dan rendang. 

Aaaah kenapa harus gitu.

Duh jadi kesal kalau ingat dan ngebayangin meja besar di ruang makan rumah panggung biruku yang dipenuhi masakan kesukaanku.

Kubayangkan Mami meladen tetamu yang datang  selesai sholat ied untuk makan satu hidangan di rumah yang mengundang. 

Opor nanas oh opor nanas..

See you next year at Eid Fitri

Bismillah..



 


BAGIAN SATU

TERLAMBAT

 

Andini

Aku masih asyik menyelesaikan pohon faktor dari tugas yang diberikan Bu Mutia ketika pintu terhempas membuka dan seorang laki laki dengan tinggi badan melampaui teman sekelasku masuk bergegas menuju meja guru yang berjarak sejengkal dari tempatku. Aku tersentak ketika Bu Mutia memanggil namaku dan menyuruhku mengambil buku absensi kedisiplinan. “Tuliskan nama Jano, catat hari dan jam kedatangannya. Jangan lupa laporkan sabtu depan ke meja Ibu.” “Baik Bu Mutia” balasku memberanikan diri menatap Jano dengan penasaran, meskipun obyek didepanku tampak sibuk sendiri mengusap peluh yang menetes dari kening, leher dan lengannya yang gempal.

Bagaimana mungkin seorang anak kelas lima SD berpeluh sedemikian banyak pada jam delapan pagi, pikirku heran. Kami tinggal di  pegunungan dengan hutan lebat terbentang antar desa. Gigil kami di pagi hari rasanya masih membekas. Aneh.

 

...

Tatapan

Suara bel dari gong kecil didepan ruang guru terdengar sampai ke kelas kami yang terletak di ujung, dan berbatasan dengan pagar sekolah. Meli melompatiku yang masih berusaha memasukkan  LKS Matematika ke dalam laci meja. Sial, kepalaku hampir saja membentur meja. Aku sudah  bersiap meneriaki Meli ketika Jano melewati mejaku dan pukulan tangannya mendarat cukup keras di meja dan membuatku mendongak.

“Apa apan sih!” teriakku keras. Omelan yang seharusnya untuk Meli kualihkan ke Jano. Tanpa sadar aku berdiri menatapnya dengan sedikit mendongak berusaha menerka maksudnya.

Pertanyaanku hanya berbalas tatapan sekilas dari Jano. Tanpa berhenti, Jano melewatiku dengan pelan, tanpa bergegas tanpa menoleh dan tanpa rasa bersalah.

Aku teringat nasehat emak tentang Jano, “jangan terlalu dekat dengan Jano, dia berbahaya, dia berbeda dengan kita Andini, ”entah apa maksud emak.”

Aku masih berusaha menebak apa yang terjadi ketika suara riuh teman sekelas membuatku menoleh dan menghampiri. Keingintahuanku membuatku setengah berlari menuju pintu keluar dan menabrak tubuh hitam legam yang sedang bersandar santai di pintu kelas kami yang setengah terbuka. Tatapan mematikan kembali mengarah padaku, aku melupakan pening dan denyutan di keningku yang mungkin akan membiru karena kerasnya benturan dan segera berlalu menjauh. Jika tadi tujuan utamaku berlari untuk melihat paa ynag terjadi, sekaramg aku hanya ingin lari menjauh dari tubuh hitam menakutkan yang ada di depanku.

Suara Meli  dan Torik  yang memanggilku bersahutan makin keras ketika aku sudah mencapai lapangan. Puluhan anak riuh memperhatikan seekor kerbau yang terihat bingung menerjang kesana kemari di tengah lapangan. Bu Mutia, Pak Didi, Pak Dani dan guru lainnya terlihat berusaha menenangkan kerbau hitam itu ditengah riuh suara tepuk dan sorai murid. Terlihat kerbau semakin menjadi dan menerjang makin mendekat, semua murid berlarian masuk ke kelas  untuk menghindar termasuk aku. Sambil berusaha mengintip kerbau yang masih liar di halaman tiba tiba aku teringat Juno. Juno sehari hari bekerja dengan kerbau Pakwo Dodik.

 

Jano

Sial!!!

Untuk ketiga kalinya di minggu ini aku terlambat masuk kelas. Aku membuka pintu kelas dengan tergesa. Sambil melihat jam dinding di  atas papan tulis hitam, aku melihat sekilas ke arah meja diseberang meja Bu Mutia.

Benar benar murid teladan dan anak emas guru. Sementara teman sekelas lainnya asyik mengobrol atau saling melempar pesawat terbang kertas, anak perempuan itu asyik menyelesaikan soal matematika.

Aku tak perlu mengarang alasan berbeda setiap kali bertemu Bu Mutia. Beliau tahu dan mengerti benar alasanku terlambat. Hanya rutinitas yang membuatnya memanggil si judes itu untuk menuliskan namaku di buku catatan kedisiplinan siswa.

Namanya Andini. Si juara satu, jago bahasa inggris dan jago pidato. Aku lupa apakah karena kepintarannya atau judesnya yang membuat ia selalu diingat. Atau silsilah keluarga sebagai cucu Uwak Marzuki yang kaya raya.

 

Bel baru saja berbunyi ketika Si Bengal yang duduk disamping Andini melompatinya dengan tiba tiba. Aku akan lewat dan tak sadar mengetuk meja mereka dengan sedikit keras. Aku memberikan pandangan tak setuju dengan tingkah Meli ketika Si Jutek mulai berkicau. Sial!!! Suara cemprengnya langsung memecah keriuhan yang tadinya  tak seberapa.

Aku membayangkan Andini adalah sebuah petasan yang dipegang seorang penggugup. Kapanpun , kita harus selalu siap mendengar  ceracaunya. Terus terang suara omelannya membuat telingaku pekak. Kasihan sekali mamak dan bapaknya. Untunglah dia tak bersaudara.

 

LOMPAT JAUH

Andini

Suara Pak Ashari menggelegar di lapangan. Teriakannya membuat ciut semua siswi termasuk aku, tentu saja kecuali Meli. Kulirik sekilas tatapannya yang fokus menatap kolam pasir sekitar lima meter dari tempat kami berdiri.
Training putih hijau yang dipakainya terlihat pas di tubuhnya yang tinggi. Sambil bersiap menunggu peluit dari Pak Ashari, Meli menautkan jemarinya dan kletak kletak, terdengar suara mengerikan dari jemarinya yang direnggangkan dengan kencang. Oh ya ampun, dasar bengal!!.

“Priiit” suara peluit Pak Ashari hampir membuatku terjatuh. Sial!!. Untung tak ada yang memperhatikan betapa gemetarnya aku. Jika ada pelajaran yang paling kuhindari itu adalah Olahraga. Dan jika ditanya olahraga apa yang membuatku tak suka, aku akan berteriak semuanya.

Suara tepukan  mulai terpindai. Meli melompat dengan sempurna. Lompatannya jauh, bahkan mungkin paling jauh dibanding anak laki-laki yang sok jago sekalipun. Kalau ada yang menandinginya. Jano lah orangnya.

“Andini, giliranmu,” teriak Pak Ashari tanpa ampun.

Dan anak-anak mulai riuh menyorakiku. Aku tahu mereka senang menertawakanku di belakang. Mereka hanya bermanis manis jika butuh aku untuk menjelaskan soal Matematika atau membantu membuat pantun untuk tugas Bahasa Indonesia. Teman temanku semuanya munafik.

Lututku gemetar, pijakanku goyah dan bahkan beberapa detik setelah peluit ditiup aku masih gemetar berlari ke arah bak pasir lima meter di depanku. Aku berlari pelan dengan ragu. Hasilnya membuat pak Ashari melotot. Aku berlalu berusaha menepikan pelototan Pak Ashari dan  berlari menuju ke arah sungai kecil di belakang sekolah.

Sungai di belakang gedung  sekolah mengalir pelan tanpa riak. Dalamnya hanya sekitar lima belas sentimeter dengan luas sekitar dua meter. Airnya mengalir jernih dan menenangkan. Sambil mengusap titik air mata yang tak mampu kutahan, aku merendam kakiku. Sorakan teman teman di lapangan sayup terdengar dari tempatku duduk. Aku tak menyadari berapa waktu berlalu hingga hening. Tanpa tergesa kupakai kembali sepatu kets merah hadiah Ayah yang masih menyisakan ruang di kaki mungilku.

Aku berjarak lima meter dari pintu kelasku, pintu cokelat dengan tulisan akrilik  KELAS ENAM warna hitam yang baru dipasang sekitar sebulan lalu ketika langkah cepat seseorang melewatiku. Aku tahu tanpa menoleh siapa. Aromanya adalah aroma wangi kopi merah bercampur peluh, sedikit manis dan menyegarkan. Aku heran darimana kulit hitam legamnya berasal. Yang kutahu Uwak Ken punya kulit yang menarik untuk dilihat, bahkan Makwo Emi punya mata sipit dengan kulit putih seperti orang Tionghoa yang memang merupakan ras kebanyakan di kampungku. Mungkin benar kata orang, Jano anak buangan, Jano anak titipan penghuni kebun kopi di seberang sungai Lintang. Anak makhluk jadi jadian. Tanpa sadar aku bergidik pelan sambil mendekapkan tangan ke tubuh.

Tepat jam dua belas, gong kecil kembali berkelontang. Setiap pintu cokelat dihempas dengan keras diiringi teriakan ramai dari teman teman sebayaku. Aku membayangkan mereka adalah peluru yang berdesing dari senapan otomatis. Suara teriakan mereka adalah desingnya. Tanpa tergesa kusandang ransel hitam di atas meja dan menenteng novel Alisyahbana yang belum selesai kubaca menyusul teman temanku.

 

Juno

Jam tujuh kurang sepuluh menit aku sudah meletakkan tas  di meja. Meli tersenyum lebar menyambutku. Celotehnya lebih banyak terdengar kalau teman sebangkunya tak ada. Dengan tangan kurusnya Meli mengajakku ber-high five. Ditariknya lenganku menuju pintu keluar. Kekuatan tubuh Meli sedikit tak terduga. Orang mengira Meli kurang gizi karena tampak ceking dibanding teman temannya. Tapi banyak menduga ia punya kekuatan herkules wanita. Seperti sekarang, tarikannya membuat lenganku berdenyut protes. Makan apa sih nih anak.

“Hari ini Olahraganya lompat jauh!. Lihat bak pasirnya sudah diratakan dan bantalannya sudah disiapkan,” sapa Meli dengan gembira.

“Hmm, membosankan!” jawabku pelan sambil  bergerak meninggalkannya yang masih tersenyum memandang bak pasir  di ujung kiri lapangan.

 

...

Aku masih asyik memandangi sepatu bututku ketika suara anak anak terdengar lebih riuh dari biasanya. Giliran kami anak laki laki sudah selesai. Kulirik sekilas temanku yang masih berdiri pucat di garis start. Tubuh mungil itu gemetar. Melihat wajahnya aku teringat kambing Wak Samem yang terjebak di pagar kayu kemarin petang, putus asa.

Suara peluit Pak Ashari hampir saja membuat Andini terjungkal. Dengan  tak pasti diseretnya kaki kecil itu hingga akhirnya  sampai juga di bak pasir dengan pelan. Aku bahkan  mampu menghitung pasti berapa langkah yang dibutuhkannya untuk sampai di sana. Hasilnya bahkan lebih buruk dari perkiraanku.

Sorakan mengejek makin ramai terdengar. Mungkin itu luapan kekesalan teman temanku pada si anak emas. Mereka tak mampu mengunggulinya di mata pelajaran apapun, mereka selalu kalah, mereka jengkel. Hanya di pelajaran Olahraga mereka mampu membuat seorang anak kepala sekolah keok.

Kupikir pikir teman temanku cukup kejam. Mereka meneriaki Andini yang berlalu dengan kepala tertunduk ke arah belakang sekolah tanpa henti. Pak Ashari  seperti membiarkan. Aku sempat menatap Pamanku dengan tatapan bertanya, dan berbalas gerakan di bahu seakan berkata biarkan saja.

Lima menit setelah Andini menghilang di balik gedung sekolah, rasa ingin tahu membuatku melangkah ke arah yang sama. Aku melihat seorang anak kecil sedang merendam kaki di sungai dengan sesekali tangannya mengusap matanya yang basah. Andini menangis, aku tak pernah melihatnya menangis. Kurasa apa yang terjadi hari ini membuatnya malu. Aneh membayangkan si gadis jutek itu bersedih. Seperti minum seduhan  kopi yang bercampur dengan kulit, membuat kening bertaut.

Aku menunggu saat yang tepat untuk mengajaknya bicara, meskipun terlihat mustahil melihat sikapnya denganku. Bagaimanapun aku ingin bercerita yang sejujurnya pada Andini, adikku.

Bersambung...


Total Tayangan Halaman

Popular Posts

www.penulistangguh.com. Diberdayakan oleh Blogger.