Malam ini terasa bergerak lebih lambat dari malam-malam biasanya. Jam malam sudah lama berlalu. Tinggal di asrama memaksaku bertoleransi lebih dengan peraturan peraturan asrama yang terkadang terasa mengada-ada.

 
Aku tinggal di asrama sekolah di kamar nomor delapan di tingkat dua bangunan sayap timur. Aku tidur bersama sembilan anak dari masing masing kelas. Seharusnya ada dua belas anak yang menempati kamar nomor delapan. Tapi ketiganya pulang kampung tanpa khabar alias menghilang.

 
Alina bilang mereka tidak betah dengan peraturan ketat Suster Wiji selaku kepala asrama. Tapi Phoebe teman dekatku yang terkenal pendiam memberitahuku kalau tiga orang teman kami tersebut dipaksa pulang orang tuanya. Ketika kutanya alasannya, Phoebe hanya mengangkat bahu yang kuartikan dia tidak tahu.

 
Aku punya dugaan sendiri. Aku pernah memergoki mereka tertawa di waktu malam dan membuat ribut kamar kami. Dua minggu sebelumnya Suster Wiji menemukan botol minuman Jack Daniel di dalam tumpukan baju paling bawah di lemari. Kuduga mereka dikeluarkan. Peraturan di sini benar-benar mengerikan.


Kertas surat berwarna pink di depanku baru tertulis delapan kata, “Dear Juno” dan selanjutnya kosong. Aku masih memutar pulpen boxi–ku ketika suara Eva yang cempreng memanggilku. Langkah kaki mendekat terdengar di balik pintu dan pintu yang membuka lalu menutup membuatku yakin untuk mematikan lampu mejaku.

 
Aku masih berusaha menemukan selimut biruku dengan meraba-raba dalam gelap dengan posisi tidur ketika pintu kamar kami dibuka perlahan. Langkah kaki suster Wiji dan Kak Grace mendekat ke ranjang tempatku berbaring. Kulihat Kak Grace iseng menyorot senter ke arah mukaku membuatku silau. Aku masih berpura-pura tertidur ketika terasa seseorang menggelitik kakiku. Kutahan sedapat mungkin sambil mengumpat pelan. Akhirnya pintu menutup dan kamar kami kembali hening.


Sambil menghitung mundur bilangan prima dari angka 101, aku akhirnya terhanyut dalam mimpi. “Mengapa kau tak memberi khabar?” aku menatap Juno dengan pandangan bertanya yang hanya berbalas diam. Aku sudah siap membalikkan badan ketika terdengar suara beratnya memanggil namaku pelan dan ragu. “Andini...” Juno menyebut namaku dengan nada yang kusuka. Aku ingat ketika hari pertama kami tak sengaja bertemu di Pasar Besak. Juno sedang berdiri dibawah terik matahari dengan lipatan karung kosong disampingnya di dekat kios Kerupuk Kemplang langgananku. Dia terlihat bediri sambil lalu dengan tangan yang sesekali bertaut dan mata yang menerawang menatap taksi merah yang memanggil-manggil. 


Aku menggenggam tangan Ibu lebih erat ketika akhirnya harus melewati Juno untuk bisa masuk ke toko itu. Panggilan pelannya membuatku ragu untuk menoleh. Dan aku tidak menoleh. Aku terlalu takut dan malu bila ternyata aku yang salah mendengar. Tapi panggilannya  kali ini membuatku merasa dejavu. Sekarang aku yakin. Di Pasar Besak di depan Toko Kerupuk itu, Juno memang memanggil namaku.


“Aku menitipkan surat pada Ayuk Leni di subuh keberangkatanmu.” Suara Juno membuatku ingin menatapnya. “Aku menitipkan surat samo Kak Feri di pagi pertama kepulanganmu setelah wisuda SMP,” terdengar Juno meninggikan suaranya sedikit membuatku semakin ciut. “Aku menemui Pak Subroto pada tahun pertama kau masuk SMA ketika Ayahmu berniat ke Surabaya menemuimu dan aku  menitipkan surat yang ketiga” suara Juno kembali terdengar dan aku tak sabar pergi dari hadapannya. Aku tak siap dengan jawabanku. 


Kriiiiiiiiing!!!


Terdengar jam beker berbunyi tepat di telinga kiriku. Aku menyembunyikan kepalaku di bantal bersarung putih dengan logo SM. “ Duggg” teriakanku terdengar mengenaskan ketika bantal itu ditarik paksa tangan putih pucat dan ringkih. Aku ingin berteriak hantu ketika tatapan marah Kak Grace mendominasi mukaku. Sial kenapa makhluk pucat ini senang sekali menggangguku. Kusibakkan selimutku dengan kasar, melemparnya asal-asalan ketika suara Suster Wiji tertangkap inderaku sedang menuju ke kamar nomor Dua Belas. Kuambil kembali selimut yang tadi kulempar dan kulipat serapi mungkin lalu kutarik ujung-ujung seprai yang mencuat di ujung.

 
Bantal putih, selimut putih dan seprai putih di kamar asrama ini membuatku menggigil. Aku tak pernah suka warna putih. Aku terintimidasi dengan warna putih. Itu sebabnya aku meletakkan butiran M&M di permukaan kasurku. Aku tahu Alina sering mengambil M&M yang kutabur tanpa sepengetahuanku dan dengan sepengetahuanku. Alina berlagak tak peduli sambil terus mengunyah MnM-ku. Dasar pencuri tak punya malu.


Aku keluar dari kamar mandi ketika jam berdentang di angka lima. Teman-temanku sudah banyak yang berseragam rapi. Alina  dan Phoebe tampak asyik membicarakan sesuatu. Hmm.. aku menebak mereka pasti sedang merencanakan untuk menyontek di ulangan kimia nanti. Alina, Phoebe dan Aku teman sekelas. Alina  berasal dari Fakfak Irian Jaya sedangkan Phoebe dari Papua. 


Alina keturunan Chinese sedangkan Phoebe puteri Papua aseli. Aku lebih dekat dengan Phoebe karena Alina terlalu cerewet untukku. Kadang tanpa kuminta Alina akan sibuk meracau bercerita ke Kak Grace ketua asrama yang juga kakaknya tentang tingkahku. Dan kak grace seperti magnet yang menemukan kutubnya mulai sibuk memantauku, mengusiliku dan menguntitku. Menyebalkan. Aku tak tahu persis cerita apa yang didongengkan Alina ke Kak Grace atau tepatnya apa yang membuat Kak Grace tertarik pada kelakuanku. Sial memikirkan kakak beradik itu  membuat kepalaku pening seketika.


Aku masih menyisir rambut ikalku ketika  Andrea, anak kelas 10 yang tidur di kasur paling ujung mengingatkanku lima menit lagi bel berbunyi. Lamunanku putus, kuambil tas hitam di atas meja belajar dan buku gambarA3 di bawahnya sambil berlali menyusul Andrea yang sudah hilang dari pandangan. Cepat sekali larinya. Tepat di ujung anak tangga terakhir bel berdentang keras. Sial terlambat lagi.
Aku berlari sekencang kumampu melintasi halaman luas pemisah asrama dan bangunan merah bata di depanku. Huff.. jantungku berdetak lebih kencang sampai kukira bakal lepas dan menggelinding di lantai marmer putih mengkilat di sebelah ruang TU. Pak Sandro sedang berjalan menuju kelasku. Aku mengikutinya dengan langkah tertahan  berusaha tak menimbulkan suara. Ketika pintu kelas 11A2 dibuka aku mengikutinya dan berlari cepat menuju bangku di meja terdepan. Lavenia teman sebangkuku  melirik sekilas sambil melempar senyum pengertiannya.


“Mimpiin Juno lagi ya sampai kesiangan?” terdengar nada sok tahu Nia. “Aku kok mimpiin dia terus ya?” aku balik bertanya bingung ke Nia. Nia mengabaikan pertanyaanku. Pak Sandro menyuruh anak-anak membuka Buku Paket Biologi kami dan bersama-sama mengoreksi PR pilihan ganda sebanyak 30 soal tentang Amoeba. 


Aku suka cara mengajar Pak Sandro dan aku suka pelajaran Biologi. Aku tiba tiba ingat Ayah setiap kali Pak Sandro mulai menyebutkan nama-nama latin dari sejumlah spesies yang kami kenal. Aku senang melafalkan nama nama latin yag kutahu. Lidahku seakan menari ketika aku melakukannya. Aku sangat suka Biologi. Aku ingin tahu apa nama latin kopi merah yang aromanya lekat dengan masa kecilku. Aroma kopi merah basah dan keringat. Aroma Juno. Tiba tiba aku ingat dengan kertas surat pink pucat yang hanya berisi dua kata Dear Juno.


Kami masih berkonsentrasi dengan buku paket masing-masing ketika terdengar suara nyaring yang sangat kukenal. Tawa anak pecah dan tertuduhnya adalah Terre anak Bu Lestari guru Kimia kami. Aku ikut merasa tak enak atas bencana kecil itu. Teriakan mengejek yang membuat pipi memerah, terdengar tak berkesudahan. Kulirik Pak Sandro memintanya meredam keriuhan di kelas kami. Terre menunduk  dan merosot jauh di kursi kayu besar di pojok ruangan depan.


Aku teringat dengan teman-teman yang mengejekku di kelas olah raga selama aku SD, rasanya seperti merasakan lagi momentum itu. Tersudut di tempatku berdiri memohon dalam hati teman-temanku behenti menyoraki kebodohanku. “Pak Sandro, aku nggak bisa konsentrasi nih, anak anak ribut” suaraku lantang terdengar. Pak Sandro tersentak, sedetik sebelum memukulkan penggaris kayu ke atas papan tulis hitam di depan kelas. Semburan kapur putih  dan suara pukulan yang keras membuat teman temanku terdiam seketika. 


Kulirik Alina dan Phoebe terkikik pelan sambil melihatku. Aku tahu banyak mata yang memandangi punggungku, mungkin mengira-ngira sejak kapan Andini bisa berteriak lantang. Sejak kapan Andini bisa bersuara di kelas tanpa diminta. Aku menimbulkan kebingungan baru di pikiran teman-temanku. Andini yang pendiam. Andini yang pemurung. Andini yang penyendiri ternyata bisa bersuara.


“Andin tunggu” teriakan Alina membuatku mempercepat langkahku. Aku tak ingin Alina punya gossip baru yang bisa dibaginya pada Kak Grace. 


“Andin, bukumu jatuh!” suara buku yang menampar pundakku akhirnya membuatku berhenti.“ Apa-apaan sih kamu, dipanggil kura-kura dalam perahu” dengan napas tersengal Alina melotot tajam seakan meminta penjelasan mengapa. “Kamu sengaja ya cepet-cepetan ninggalin aku” cerocos Alina sambil menyodorkan buku paket biologi ke tanganku.

 
Sebuah amplop biru tersembul. Kutatap Alina dengan tatapan bertanya. Alina dengan muka menyebalkan mulai kedip-kedip kayak orang kelilipan semut rangrang. ish... Kutinggalkan Alina cepat setelah mengucapkan terima kasih dengan tergesa. Aku tak ingin Alina tahu tentang surat biru muda itu.Tapi aku tak yakin Alina tidak usil membukanya. OH Tuhan, jangan Alina deh. Alina kan ember bocor. Apa saja yang dituangkan ke dalamnya... bakal abis tumpah teka bersisa selain basah dan jadi gossip  paling hits di asrama dan di sekolah. 

Bersambung..









Saat kau berumur 1 tahun, dia menyuapi dan memandikan.
Sebagai balasannya, km menangis sepanjang malam.
Saat kau berumur 2 tahun, dia mengajarimu bagaimana cara berjalan.
Sebagai balasannya, kau kabur saat dia memanggilmu.
Saat kau berumur 3 tahun, dia memasakkan semua makananmu dengan kasih
sayang. Sebagai balasannya, kau buang piring berisi makanan ke lantai.
Saat kau berumur 4 tahun, dia memberimu pensil berwarna Sebagai balasannya,
kau coret-coret dinding rumah dan meja makan
Saat kau berumur 5 tahun, dia membelikanmu pakaian2 yang mahal dan indah.
Sebagai balasannya, kau memakainya untuk bermain di kubangan lumpur dekat
rumah
Saat kau berumur 6 tahun, dia mengantarmu pergi ke sekolah. Sebagai
balasannya, kau berteriak.”NGGAK MAU!!”
Saat kau berumur 7 tahun, dia membelikanmu bola.
Sebagai balasannya, kau lemparkan bola ke jendela tetangga.
Saat kau berumur 8 tahun, dia memberimu es krim.
Sebagai balasannya, kau tumpahkan hingga mengotori seluruh bajumu.
Saat kau berumur 9 tahun, dia membayar mahal untuk kursus pianomu. Sebagai
balasannya, kau sering bolos dan sama sekali tidak pernah berlatih.
Saat kau berumur 10 tahun, dia mengantarmu ke mana saja, dari kolam renang
hingga pesta ulang tahun
Sebagai balasannya, kau melompat keluar mobil tanpa memberi salam.
Saat kau berumur 11 tahun, dia mengantar kau dan teman-temanmu ke bioskop.
Sebagai balasannya, kau minta dia duduk di baris lain
Saat kau berumur 12 tahun, dia melarangmu untuk melihat acara TV khusus
orang dewasa.
Sebagai balasannya, kau tunggu dia sampai di keluar rumah
Saat kau berumur 13 tahun, dia menyarankanmu untuk memotong rambut, karena
sudah waktunya
Sebagai balasannya, kau katakan dia tidak tahu mode.
Saat kau berumur 14 tahun, dia membayar biaya untuk kempingmu selama
sebulan liburan
Sebagai balasannya, kau tak pernah meneleponnya..
Saat kau berumur 15 tahun, pulang kerja ingin memelukmu Sebagai
balasannya, kau kunci pintu kamarmu.
Saat kau berumur 16 tahun, dia ajari kau mengemudi mobilnya.
Sebagai balasannya, kau pakai mobilnya setiap ada kesempatan tanpa peduli
kepentingannya.
Saat kau berumur 17 tahun, dia sedang menunggu telepon yang penting
Sebagai balasannya, kau pakai telepon nonstop semalaman
Saat kau berumur 18 tahun, dia menangis terharu ketika kau lulus SMA
Sebagai balasannya, kau berpesta dengan temanmu hingga pagi.
Saat kau berumur 19 tahun, dia membayar biaya kuliahmu dan mengantarmu ke
kampus pada hari pertama.
Sebagai balasannya, kau minta diturunkan jauh dari pintu gerbang agar kau
tidak malu di depan teman-temanmu.
Saat kau berumur 20 tahun, dia bertanya, “Dari mana saja seharian ini?”
Sebagai balasannya, kau jawab,”Ah Ibu cerewet amat sih, ingin tahu urusan
orang!”
Saat kau berumur 21 tahun, dia menyarankan satu pekerjaan yang bagus utk
karirmu di masa depan.
Sebagai balasannya, kau katakan,”Aku tidak ingin seperti Ibu.”
Saat kau berumur 22 tahun, dia memelukmu dengan haru saat kau lulus
perguruan tinggi
Sebagai balasannya, kau tanya dia kapan kau bisa ke Bali.
Saat kau berumur 23 tahun, dia membelikanmu 1set furnitur untuk rumah
barumu.
Sebagai balasannya, kau ceritakan pada temanmu betapa jeleknya
furnitur itu.
Saat kau berumur 24 tahun, dia bertemu dengan tunanganmu dan bertanya ttg
rencananya di masa depan
Sebagai balasannya, kau mengeluh,”Aduuh, bagaimana Ibu ini, kok bertanya spt
itu?”
Saat kau berumur 25 tahun, dia mambantumu membiayai penikahanmu Sebagai
balasannya, kau pindah ke kota lain yang jaraknya lebih dari 500km.
Saat kau berumur 30 tahun, dia memberikan beberapa nasehat bagaimana
merawat bayimu.
Sebagai balasannya, kau katakan padanya,”Bu, sekarang jamannya sudah
berbeda!”
Saat kau berumur 40 tahun, dia menelepon untuk memberitahukan pesta ulang
tahun salah seorang kerabat.
Sebagai balasannya, kau jawab,”Bu, saya sibuk sekali, nggak ada waktu.”.
Saat kau berumur 50 tahun, dia sakit-sakitan sehingga memerlukan
perawatanmu
Sebagai balasannya, kau baca tentang pengaruh negatif orang tua
yang menumpang tinggal di rumah anak-anaknya.
Dan hingga suatu hari, dia meninggal dengan tenang, dan tiba-tiba kau
teringat semua yang belum pernah kau lakukan.



Sesungguhnya Mami  Papi adalah guru terhebat sekaligus pengobar semangat  yang takkan pernah padam bagi aku dan adik adikku... bagi kami ANAK ANAKMU.

Terima kasih ya Allah untuk jiwa jiwa baik hati, jiwa jiwa pahlawan yang punya tekad setegar karang, jiwa jiwa yang tak mengenal lelah  untuk membimbing dan mendidik anak anaknya.... yang kau sematkan pada MAMI PAPI kami.


Jadi inget dulu pas kuliah, kos–kosan yang menyenangkan. Bisa kelayapan kapanpun karena nggak ada ortu atau saudara yang tahu haha, tapi itu juga kalo bisa ngibulin ibu kostku yang galak abis.Aku memang anak rantau, hampir  21 tahun dari usiaku kuhabiskan di tanah rantau, sampai akhirnya aku terjebak  dan tertawan di kota Surabaya. Tapi jauh sebelum aku menjejakkan kaki di Surabaya atau Yogyakarta, aku pernah tinggal di sebuah kota kecil bernama LAHAT.

Kalo mau ditelusuri, aku ngerasa udah ngekost sejak kelas 1 SMP, maklum karena hidup didesa nan jauh terpencil di kaki gunung di pelosok Sumatera, sekolah waktu itu jadi hal yang mahal. Tapi bersyukur aku punya Mami Papi yang berfikiran sangat maju. Meskipun mereka hanyalah guru SD yang tinggal dipelosok, tapi mereka bertekad ke 5 anak anaknya harus maju. Dan maju itu artinya sekolah yang setinggi tingginya dan keluar dari desaku yang memang harus kuakui tidak terlalu bersahabat dengan pendidikan bagus.

Lepas SD, aku hijrah ke kota kabupaten Lahat yang jaraknya lumayan jauh untuk ukuran anak sekecil aku, sekitar 4 jam perjalanan yang menakutkan, mengerikan dan selalu menghantui malam malamku menjadi sebuah  mimpi buruk. Betapa tidak kontur jalan yang berliku tajam, dengan kelokan yang mengerikan, jurang di kiri kanan, hutan belantara yang sangat lebat... plus supir yang mengemudi sedikit diluar aturan.

Di Lahat, aku tinggal di rumah perumnas bersama tanteku yang ku panggil Cik Nis, aku belajar memasak sendiri, mencuci baju sendiri, nyetrika sendiri, aku belajar mandiri. Aku juga mulai menyadari perbedaanku dengan teman yang lain. Meskipun mampu, Mami tidak menyediakan fasilitas televisi di rumah, jadinya aku menjadi  tamu tetap tetanggaku yang kugilir secara teratur agar mereka tidak bosan menerima aku  yang ‘ numpang nonton TV’. Aku paling tak punya dibanding temanku. Bahkan untuk sekedar les tambahan pelajaran saja aku malu karena bajuku hanya itu itu saja. Satu satunya fasilitas paling mewah yang pernah kudapat waktu itu adalah “meja ligna“ sebutanku untuk sebuah meja belajar bagus dilengkapi laci, lemari berkunci, dan tentunya tempat buku.


Acara favoritku "Friday the 13th", hampir setiap malam jumat aku menantikannya, paling seru kalo pas hujan turun, atau tetanggaku pergi atau malah mati lampu. Aku akan menunggu tak sabar didepan rumah sambil membayangkan episode episode yang udah lewat dengan tak sabar didepan rumah. Akhirnya setelah dipanggil masuk, baru deh dengan langkah berat aku menuju kamar dan  mencoba tidur, sambil tetap komat kamit di mulut, berdoa semoga hujan reda, lamu cepat menyala  atau tetanggaku cepat pulang ...

Di Lahat, aku punya beberapa teman yang cukup akrab, tapi karena aku bukanlah seorang yang hebat ingatannya, lebih banyak yang lupa namanya dibanding yang kuingat. Di Perumnas, aku punya teman sekaligus tetangga yang selalu kudatangi kalau aku pengen lihat Film kesukaanku, namanya Riski, panggilannya Kiki. Kami bersekolah di SMP yang sama, berangkat dengan taksi ( sebutan untuk angkutan di Lahat ) yang sama dan pulang juga selalu bersama walaupun beda kelas. Yang kuingat, Kiki anak pertama, punya 2 adik, tidak terlalu banyak bicara, cenderung pendiam, dan jarang sekali keluar rumah. Rumah Kiki tepat didepan rumahku, rumah yang besar dan mewah dibanding rumahku. Kiki punya banyak barang barang mewah untuk anak seusiaku, alat tulisnya bagus, tasnya bagus, sepatunya bagus, bajunya juga bagus. Tapi aku ingat aku tidak terlalu iri melihat barang barang Kiki, mungkin karena Kiki baik denganku, entahlah.

Di Lahat, aku bersekolah di SMP Santo Yoseph, sebuah sekolah yang selalu kusebut keren karena seragamnya. Seragam merah kotak kotak yang menyala dnegan bentuk rok lipit yang bagus banget selalu membuatku bangga. Aku punya banyak teman di SMP, beberapa yang paling kuingat Venny, Melly, Iis, Jimmy, Yeti, Erika, dan lainnya. Sekali lagi , aku cukup parah dalam mengingat nama,  tapi aku masih sangat ingat wajah wajahnya. Layaknya di sekolah sedikit  swasta, selalu ada Kelompok orang Pinter, Kelompok Cewek Cantik dan Populer, Kelompok Anak tajir dan Kaya Raya, Kelompok anak Guru, Kelompok anak Pejabat,  dan seperti bisa ditebak , aku tidak masuk dalam kelompok manapun hahahaha...

Tapi aku bukan orang yang terlalu peduli dengan hal  hal itu, minimal waktu itu. Yang kuingat adalah meskipun sekolah katholik, dan aku seorang muslim, aku diperlakukan sama baiknya dengan yang lain oleh para guru, dan susternya. Aku belajar banyak hal, dari mulai kaligrafi, melukis, menari dan kegiatan kegiatan menarik lain. Aku pernah berkemah di halaman sekolah bersama teman sekolahku, Aku pernah ikut mengenal yang namanya Retret, aku boleh pinjam buku buku bacaan yang keren abis di perpus sekolahku, aku bahkan diajari nyanyi lagu “Twinkle Twinkle“ yang akhirnya menjadi lagu favorit aku dan anakku. Aku belajar banyak hal di sekolahku, aku belajar mengenal dunia yang jauh lebih menyenangkan  disini... aku membuka cakrawala baru di SMPku.

Masa kecilku, masa SMPku yang kurang lebih 3 tahun berjalan dengan sangat baik dan meninggalkan berjuta kenangan bagiku. Walaupun semangat belajarku belum tumbuh dengan baik, tapi aku menilai  masa ini adalah  awal baru dalam hidupku. Begitu banyak hal baru yang kudapat  waktu itu, dari  nonton bioskop  yang sebelumnya kebayangpun enggak, naik taksi pulang pergi sekolah, les tambahan, jalan jalan  sepulang sekolah, ... ah jadi kangeeen.

Untuk masalah pelajaran, aku tidak seperti anak kebanyakan yang belajar tiap malam,aku bahkan hampir tidak pernah belajar karena tidaka ada mami papi yang biasanya selalu setia mengajariku mengerjakan PR atau sekedar mengulang pelajaran yang didapat. Bahkan hampir tiap malam aku begadang, keluyuran ke tempat tetangga untuk numpang lihat TV. Tidak ada yang mengawasiku. Mungkin itulah penyebabnya , atau aku belum seratus persen bertanggung jawab terhadap tugas utamaku yaitu belajar.

Tapi walaupun akau selalu rangking 15-17 diantara 40 siswa sekelas, ada satu pelajaran yang aku sangat menonjol. Aku sangat suka bahasa Inggris, gurunya biasa kami panggil Ibu ATIK, wah aku sangat suka cara mengajar bu Atik, karena dia selalu memberi kami 10 kosa kata setiap pertemuan untuk diingat  di pelajaran berikutnya. Pokoknya top deh, bahkan aku sampai ambil les tambahan demi kesukaanku belajar bahasa inggris, dan hasilnya tidak mengecewakan. Di ujian akhir,  nilai NEMku untuk bahasa inggris adalah nilai sempurna atau 10. Pelajaran lain yang kusuka adalah matematika, yang ngajar ibu Yustina, sukaaaaa banget. Dari Bu Atik dan Bu Yustina aku belajar bahwa jadi guru yang baik adalah dengan  mengajar seikhlas mungkin, seceria mungkin dengan metode metode yang menyenangkan, jadi muridnya suka. Dulu pas ada pertanyaan guru favorit, Bu Atik dan Bu Yustina selalu dipilih oleh kami semua.

Terima kasih Mami, terima kasih Papi, karena berkat keikhlasan  kalian menjadikan kami anak anak hebat yang berpendidikan tinggi untuk bekal sukses  kami,
aku`bisa belajar banyak hal,
aku bisa mengenal hal hal baru yang sungguh menyenangkan,
aku bisa menanam berjuta kenangan yang akan selalu indah untuk diingat,
aku bisa merajut liar imajinasiku tanpa batas ..
aku bisa seperti sekarang.



 

Daun menguning.

Udara panas menyengat.

Rumput di teras depan yang bisanya hijaunya meneduhkan tampak menguning, kusam dan pucat.

Seekor kecoak kecil tampak melompat keluar dari lubang kecil disamping teras. Badannya yang gemuk dan hitam legam melenggak lenggok di bebatuan putih yang membatasi rumput taman. Kutajamkan penghilahatanku dan mulai menyiapkan senjata mematikan. Plaak!! Terdengar suara keras ketika sendal jepit lusuh yang tadinya kupakai kuhantamkan ke paving. Sial! Kecoaknya lepas dan berlari cepat ke balik rerimbunan bunga asoka yang sedang mekar.

Terdengar suara keras memekakkan telinga ketika motor merah di sudut carpot dihidupkan. Sekilas kulirik lelaki yang sedang sibuk mengoles oli di rantai. Kerutan di sekitar keningnya semakin jelas terlihat sekarang. Tak menyadari  sedang diamati, bibirnya begerak mendendangkan lagu yang kuhafal luar kepala. Suara mesin masih menggaung dan kecoak hitam itu masih bermain petak umpet di sekitar asoka. Kuusap peluh yang menetes dari keningku dan perlahan kutinggalkan kursi tempatku duduk.

Ruang tamu terlihat ramai dengan suara anak anak kecil. Aku terus berjalan melewati mereka menuju dapur. Langkahku terhenti melihat betapa porak porandanya dapur dan wastafel pencucian piring. Wajan bekas menggoreng ayam masih terihat berlumuran minyak hitam, magic com terbuka memberikan pandangan panci kosong dan sisa nasi yang mulai mengeras. Tanpa sadar aku berbalik arah menuju kamar tidur. Kurebahkan  badan dan mulai bernafas teratur, kupejamkan mata tanpa berniat memikiran gundukan baju di sudut kamar. 

Bismilah biarkan aku rehat sejenak dari rutinitas yang menjemukan ini.

Aku hanya ingin tidur dan melupakan semua. Sejenak mengambil jeda, sebentar mengurai lelah tanpa bermaksud menyerah.



Monster kesepian

Detail buku:
Judul asli: Frankenstein
Penulis: Mary Shelley
Penerjemah: Anton Adiwiyoto
Tebal: 312 halaman
Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama
Cetakan III 2009
ISBN: 978-979-22-5096-1

Sinopsis:

Dokter Victor Frankenstein ingin menciptakan makhluk sempurna dengan menggabungkan ilmu pengetahuan dan ilmu gaib. Dari sisa-sisa tubuh orang mati, ia membuat makhluk raksasa dengan kekuatan luar biasa… dan menghidupkannya. Tetapi ketika makhluk itu membuka mata, Frankenstein melarikan diri denganrasa takut yang amat sangat.

Makhluk itu pun keluar ke dunia ramai, berusaha mencari teman dan cinta, namun yang diperolehnya justru kebencian dan ketakutan. maka ia pun bersumpah akan membalas dendam pada sang pencipta yang telah memberikan napas hidup baginya. Dengan kekuatannya yang luar biasa, ia berkelana hingga ke ujung dunia… untuk menghancurkan semua orang yang dicintai Frankenstein

Diawali oleh surat yang ditulis Robert Walton kepada Margareth adiknya. Walton bercerita tentang pelayarannya untuk mencari tempat yang jauh dan belum terjamah manusia. Pelayarannya terjadi pada abad ke 17, seabad sebelum kisah ini dibuat (1818). Obsesi Walton tentang keinginannya untuk menyingkap lebih dalam misteri kehidupan dan keinginannya untuk mencari seorang sahabat diceritakan dgn indah disetiap suratnya. Pada akhir suratnya Walton bercerita tentang pertemuannya dengan seorang pemuda yang kelak diketahui bernama Victor Frankenstein.

Lalu Frankenstein memulai ceritanya kepada Wilton. Frankenstein kecil yang putra dari salah seorang paling terkemuka di Jenewa, ibunya seorang yang baik hati dan penuh kasih sayang. Frankenstein mempunyai adik lelaki kecil Ernest dan William, adik angkat cantik yang begitu disayanginya bernama Elizabeth dan seorang sahabat setia bernama Clerval.
Hidupnya sangat bahagia, meskipun ibunya meninggal di usia yg sangat muda. Frankenstein lebih dulu mengenal dunia gaib lewat buku Cornellius Agrippa, sampai akhirnya Frankenstein masuk perguruan tinggi dan mulai terobsesi dengan ilmu pengetahuan.
Frankenstein muda yang tampan mulai terobsesi untuk menciptakan sesuatu dari pengetahuan yang dimilikinya.
Siang dan malam sampai berbulan bulan Frankenstein hidup terasing di lab kecil di apartemennya untuk mewujudkan mimpinya.
Sampai akhirnya Monster itu benar benar hidup. Makhluk setinggi 2 Meter dengan wajah pucat dan wajah mengerikan itu akhirnya hidup.

Frankenstein setelah berbulan bulan menyiksa diri tanpa makan, tanpa tidur begitu terkejut melihat sapaan makhluk yang diciptakannya. Bayangkan seluruh tubuhnya diambil dari potongan mayat yang dijahit satu persatu.
Frankenstein bukan saja takut dengan makhluk ciptaanya, tapi juga membencinya.

Makhluk tak bernama itu, dengan fisik yang menjulang dan wajah mengerikan ternyata tak mampu menemukan teman. Diceritakan bagaimana makhluk tsb tinggal sembunyi sembunyi di kandang milik sebuah keluarga Prancis yang baik hati, menolong keluarga tsb dgn menyediakan kayu bakar dan menebang pohon tapi pada akhirnya ketika makhluk itu menampakkan wajahnya, keluarga tsb menjerit, pingsan, berusaha memukulnya dan akhirnya tergesa pindah dan meninggalkannya sendirian.

Perasaan tak diinginkan, ditolak dan dibenci membuat makhluk itu menyimpan dendam dan kebencian pada penciptanya.
Satu persatu orang orang dekat dan disayangi Frankenstein terbunuh. Sampai akhirnya  makhluk itu berjanji tidak akan menyakiti manusia jika Frankenstein bersedia menciptakan pasangan untuknya. Kalut dan tak berdaya Frankenstein mengabulkan keinginan makhluk ciptaannya.

Cerita ini adalah sebuah kisah tragedi yang diceritakan dengan bahasa yang indah khas sastra klasik. Menceritakan bagaimana ilmu pengetahuan dianggap segalanya pada waktu kisah ini ditulis. Obsesi yang berlebihan dan kepercayaan yang mulai luntur pada Tuhan.

Penyesalan Frankenstein tak mampu mengembalikan keadaan. Bahkan meskipun mampu menciptakan makhluk, Frankenstein tak mampu menghidupkan Elizabethnya tersayang dan orang orang yang disayanginya.

Penyangkalan terhadap hasil ciptaannya membuat Frankenstein malah menciptakan monster, padahal di awal penciptaannya, walaupun secara fisik rupanya  sangat buruk, makhluk tersebut bukanlah makhluk yang jahat. Keterasingan dan penolakanlah yang mengubahnya juga ejekan dan pandangan merendahkan dari makhluk lainnya (manusia).

Banyak sekali hikmah dan renungan yang bisa kita ambil dari kisah ini. Obsesi dan ambisi yang berlebihan tak akan menghasilkan kebahagiaan.

Banyak juga kutipan dan kata kata berupa pertanyaan yang sering kita temukan dlm hidup.

“Semua orang membenci apa saja yang punya buruk rupa. Tapi mengapa aku harus dibenci kalau keadaanku paling penyedihkan di antara semua makhluk hidup. Bahkan kau, penciptaku, membenciku dan mencelaku, ciptaanmu?” p.131

“Sadarilah betapa berbahaya orang memiliki ilmu pengetahuan. Dan juga yakinlah betapa lebih bahagia orang yang menganggap kota kediamannya sebagai dunianya, daripada orang yang ingin menjadi lebih besar daripada yang diizinkan kondratnya.” p. 63

“Sungguh aneh hakikat ilmu pengetahuan! Sekali masuk ke otak, ilmu pengetahuan akan terus berpegangan erat-erat seperti kancing-kancingan melekat pada batu.” p.163

“Kita beristirahat, tetapi impian mampu meracuni tidur lelap.Kita bangun; satu pikiran akan mengeruhkan perasaan.Kita merasakan, membayangkan, mempertimbangkan; tertawa atau menangis.Memeluk kesedihan, atau melemparkan kemalangan.Semua sama saja: sebab sbaik kegembiraan maupun kesedihan akan lenyap dengan mudah.Kemarin takkan sama dengan esok.Semua akan selalu berubah-ubah!” p. 129


Spesifikasi Buku 
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Pengarang : Mary Higgins Clark
Kelompok : Novel
Bahasa : Indonesia
Cover : softcover

Sinopsis:

Novel pendek Sindrom Anastasia mengisahkan pengarang sejarah terkenal Judith Chase yang tinggal di London. Judith yang menjadi yatim-piatu semasa perang Dunia II ingin menelusuri asal-usulnya. Ia menghubungi psikoanalis ternama untuk menghipnotisnya supaya mundur ke masa lalu.

Ternyata Judith tidak sekedar mundur ke masa kanak-kanaknya, ia terjebak dalam pusaran sejarah yang menjadi tema buku-buku karangannya. Saat kembali ke masa kini, ia mulai sering menderita hilang ingatan. 

Sementara itu London mulai diteror berbagai bom. Apa yang terjadi saat Judith hilang ingatan? Siapakah yang menyebar teror bom itu?Selain Sindrom Anastasia, buku ini juga berisi empat cerita lain yang tak kalah serunya. Cinta seorang murid sakit jiwa pada gurunya, istri yang curiga bahwa suaminya telah melakukan pembunuhan, roh saudara kembar yang membantu kembarannya yang terancam bahaya, dan usaha seorang ibu mencari putrinya yang dibawa lari suaminya. 

Dijamin anda akan terus membaca sampai halaman terakhir. Menurutku..... Hmm.... Kalau biasanya Marry Higgins Clark menulis sebuah novel utuh bertema misteri, disini ada 5 cerita berbeda yang ingin disampaikan. 

Aku tahu setiap pengarang punya ciri masing masing, dan MHC punya ciri khas yang kuanggap sangat unik dan berkelas. Aku mencoba menuliskan ciri khas dari novel-novel MHC, salah satunya adalah tokoh utama yang selalu wanita, biasanya berumur diatas 30 tahun, berkeluarga dan berkelas. 

Marry juga bukanlah penulis yang suka menjabarkan sex dengan vulga. Kesantunannya dalam berbahasa punya daya pikat sendiri. Aku mengoleksi hampir 20 novel karyanya dan tak pernah puas untuk menambah dengan koleksi yang lainnya. 

Aku menyukai novel ini, meski singkat tapi uraiannya benar-benar hidup dan menambah wawasan. Berlatar cerita jaman kejatuhan Charles I,  ratusan tahun silam. Cerita ini sarat akan sejarah kelam kerajaan Inggris. 

Aku tak percaya bahwa roh dari masa lalu bisa hidup dalam tubuh kita dan mengendalikan diri kita. Sedikit menyerupai Split Personality, dimana sang tokoh punya dua kepribadian yang sangat bertolak belakang.

Tokoh Judith Chase yang lembut, dan menyenangkan tiba tiba harus tergeser oleh pribadi baru dari masa lalu, Margareth Carew. Bukan tanpa alasan Margaret memilih tubuh Judith untuk digunakannya membalas dendam di masa lalunya. 

Baginya Judith sangat pas, dia akan bertunangan dengan  calon PM Inggris Stephen Hallet, seorang keturunan Simon Hallet yang telah menghianati dan menyakitinya di masa lalu. 

Hati-hati ketika kau menyadari banyak waktumu yang tak bisa kau ingat sepenuhnya, seakan hilang tanpa jejak. Mengingatnyapun kau tak mampu. Mungkin saat itulah kepribadian baru telah mengambil alih dan menggunakan tubuhmu.



1. 1984 by George Orwell
2. Adventures of Huckleberry Finn by Mark Twain
3. Alice in Wonderland by Lewis Carroll
4. The Amazing Adventures of Kavalier & Clay by Michael Chabon
5. An American Tragedy by Theodore Dreiser
6. Angela's Ashes by Frank McCourt
7. Anna Karenina by Leo Tolstoy
8. The Diary of a Young Girl by Anne Frank
9. The Archidamian War by Donald Kagan
10. The Art of Fiction by Henry James
11. The Art of War by Sun Tzu
12. As I Lay Dying by William Faulkner
13. Atonement by Ian McEwan
14. Autobiography of a Face by Lucy Grealy
15. The Awakening by Kate Chopin
16. Babe by Dick King-Smith
17. Backlash: The Undeclared War Against American Women by Susan             Faludi
18. Balzac and the Little Chinese Seamstress by Dai Sijie
19. Bel Canto by Ann Patchett
20. The Bell Jar by Sylvia Plath
21. Beloved by Toni Morrison
22. Beowulf: A New Verse Translation by Seamus Heaney
23. The Bhagava Gita
24. The Bielski Brothers: The True Story of Three Men Who Defied the Nazis, Built a Village in the Forest, and Saved 1,200 Jews by Peter Duffy
25. Bitch in Praise of Difficult Women by Elizabeth Wurtzel
26. A Bolt from the Blue and Other Essays by Mary McCarthy

Warner Bros. Television / Via maybefabulous.blogspot.com
27. Brave New World by Aldous Huxley
28. Brick Lane by Monica Ali
29. Bridgadoon by Alan Jay Lerner
30. Candide by Voltaire
31. The Canterbury Tales by Chaucer
32. Carrie by Stephen King
33. Catch-22 by Joseph Heller
34. The Catcher in the Rye by J. D. Salinger
35. Charlotte's Web by E. B. White
36. The Children's Hour by Lillian Hellman
37. Christine by Stephen King
38. A Christmas Carol by Charles Dickens
39. A Clockwork Orange by Anthony Burgess
40. The Code of the Woosters by P.G. Wodehouse
41. The Collected Stories by Eudora Welty
42. A Comedy of Errors by William Shakespeare
43. Complete Novels by Dawn Powell
44. The Complete Poems by Anne Sexton
45. Complete Stories by Dorothy Parker
46. A Confederacy of Dunces by John Kennedy Toole
47. The Count of Monte Cristo by Alexandre Dumas
48. Cousin Bette by Honore de Balzac
49. Crime and Punishment by Fyodor Dostoevsky
50. The Crimson Petal and the White by Michel Faber
51. The Crucible by Arthur Miller
52. Cujo by Stephen King
53. The Curious Incident of the Dog in the Night-Time by Mark Haddon

Warner Bros. Television / Via bookreviews.me.uk
54. Daughter of Fortune by Isabel Allende
55. David and Lisa by Dr Theodore Issac Rubin M.D
56. David Copperfield by Charles Dickens
57. The Da Vinci -Code by Dan Brown
58. Dead Souls by Nikolai Gogol
59. Demons by Fyodor Dostoyevsky
60. Death of a Salesman by Arthur Miller
61. Deenie by Judy Blume
62. The Devil in the White City: Murder, Magic, and Madness at the Fair that        Changed America by Erik Larson
63. The Dirt: Confessions of the World's Most Notorious Rock Band by                  Tommy Lee, Vince Neil, Mick Mars and Nikki Sixx
64. The Divine Comedy by Dante
65. The Divine Secrets of the Ya-Ya Sisterhood by Rebecca Wells
66. Don Quixote by Cervantes
67. Driving Miss Daisy by Alfred Uhrv
68. Dr. Jekyll & Mr. Hyde by Robert Louis Stevenson
69. Edgar Allan Poe: Complete Tales & Poems by Edgar Allan Poe
70. Eleanor Roosevelt by Blanche Wiesen Cook
71. The Electric Kool-Aid Acid Test by Tom Wolfe
72. Ella Minnow Pea: A Novel in Letters by Mark Dunn
73. Eloise by Kay Thompson
74. Emily the Strange by Roger Reger
75. Emma by Jane Austen
76. Empire Falls by Richard Russo
77. Encyclopedia Brown: Boy Detective by Donald J. Sobol
78. Ethan Frome by Edith Wharton
79. Ethics by Spinoza
80. Europe through the Back Door, 2003 by Rick Steves

Warner Bros. Television / Via bellesbookshelf.blogspot.com
81. Eva Luna by Isabel Allende
82. Everything Is Illuminated by Jonathan Safran Foer
83. Extravagance by Gary Krist
84. Fahrenheit 451 by Ray Bradbury
85. Fahrenheit 9/11 by Michael Moore
86. The Fall of the Athenian Empire by Donald Kagan
87. Fat Land: How Americans Became the Fattest People in the World by          Greg Critser
88. Fear and Loathing in Las Vegas by Hunter S. Thompson
89. The Fellowship of the Ring by J. R. R. Tolkien
90. Fiddler on the Roof by Joseph Stein
91. The Five People You Meet in Heaven by Mitch Albom
92. Finnegan's Wake by James Joyce
93. Fletch by Gregory McDonald
94. Flowers for Algernon by Daniel Keyes
95. The Fortress of Solitude by Jonathan Lethem
96. The Fountainhead by Ayn Rand
97. Frankenstein by Mary Shelley
98. Franny and Zooey by J. D. Salinger
99. Freaky Friday by Mary Rodgers
100. Galapagos by Kurt Vonnegut
101. Gender Trouble by Judith Butler
102. George W. Bushism: The Slate Book of the Accidental Wit and Wisdom         of our 43rd President by Jacob Weisberg
103. Gidget by Fredrick Kohner
104. Girl, Interrupted by Susanna Kaysen
105. The Gnostic Gospels by Elaine Pagels
106. The Godfather: Book 1 by Mario Puzo
107. The God of Small Things by Arundhati Roy
108. Goldilocks and the Three Bears by Alvin Granowsky
109. Gone with the Wind by Margaret Mitchell
110. The Good Soldier by Ford Maddox Ford
111. The Gospel According to Judy Bloom
112. The Graduate by Charles Webb
113. The Grapes of Wrath by John Steinbeck
114. The Great Gatsby by F. Scott Fitzgerald
115. Great Expectations by Charles Dickens
116. The Group by Mary McCarthy
117. Hamlet by William Shakespeare
118. Harry Potter and the Goblet of Fire by J. K. Rowling
119. Harry Potter and the Sorcerer's Stone by J. K. Rowling
120. A Heartbreaking Work of Staggering Genius by Dave Eggers
121. Heart of Darkness by Joseph Conrad
122. Helter S The True Story of the Manson Murders by Vincent Bugliosi and        Curt Gentry
123. Henry IV, part I by William Shakespeare
124. Henry IV, part II by William Shakespeare
125. Henry V by William Shakespeare
126. High Fidelity by Nick Hornby
127. The History of the Decline and Fall of the Roman Empire by Edward              Gibbon
128. Holidays on Ice: Stories by David Sedaris
129. The Holy Barbarians by Lawrence Lipton
130. House of Sand and Fog by Andre Dubus III
131. The House of the Spirits by Isabel Allende
132. How to Breathe Underwater by Julie Orringer
133. How the Grinch Stole Christmas by Dr. Seuss
134. How the Light Gets In by M. J. Hyland
135. Howl by Allen Ginsberg
136. The Hunchback of Notre Dame by Victor Hugo
137. The Iliad by Homer
138. I'm With the Band by Pamela des Barres
139. In Cold Blood by Truman Capote
140. Inferno by Dante
141. Inherit the Wind by Jerome Lawrence and Robert E. Lee
142. Iron Weed by William J. Kennedy
143. It Takes a Village by Hillary Rodham Clinton
144. Jane Eyre by Charlotte Bronte
145. The Joy Luck Club by Amy Tan
146. Julius Caesar by William Shakespeare
147. The Jumping Frog by Mark Twain
148. The Jungle by Upton Sinclair
149. Just a Couple of Days by Tony Vigorito
150. The Kitchen Boy: A Novel of the Last Tsar by Robert Alexander
151. Kitchen Confidential: Adventures in the Culinary Underbelly by Anthony        Bourdain
152. The Kite Runner by Khaled Hosseini
153. Lady Chatterleys' Lover by D. H. Lawrence
154. The Last Empire: Essays 1992-2000 by Gore Vidal
155. Leaves of Grass by Walt Whitman
156. The Legend of Bagger Vance by Steven Pressfield
157. Less Than Zero by Bret Easton Ellis
158. Letters to a Young Poet by Rainer Maria Rilke
159. Lies and the Lying Liars Who Tell Them by Al Franken
160. Life of Pi by Yann Martel
161. Little Dorrit by Charles Dickens
162. The Little Locksmith by Katharine Butler Hathaway
163. The Little Match Girl by Hans Christian Andersen
164. Little Women by Louisa May Alcott
165. Living History by Hillary Rodham Clinton
166. Lord of the Flies by William Golding
167. The Lottery: And Other Stories by Shirley Jackson
168. The Lovely Bones by Alice Sebold
169. The Love Story by Erich Segal
170. Macbeth by William Shakespeare
171. Madame Bovary by Gustave Flaubert
172. The Manticore by Robertson Davies
173. Marathon Man by William Goldman
174. The Master and Margarita by Mikhail Bulgakov
175. Memoirs of a Dutiful Daughter by Simone de Beauvoir
176. Memoirs of General W. T. Sherman by William Tecumseh Sherman
177. Me Talk Pretty One Day by David Sedaris
178. The Meaning of Consuelo by Judith Ortiz Cofer
179. Mencken's Chrestomathy by H. R. Mencken
180. The Merry Wives of Windsor by William Shakespeare
181. The Metamorphosis by Franz Kafka
182. Middlesex by Jeffrey Eugenides
183. The Miracle Worker by William Gibson
184. Moby Dick by Herman Melville
185. The Mojo Collection: The Ultimate Music Companion by Jim Irvin
186. Moliere: A Biography by Hobart Chatfield Taylor
187. A Monetary History of the United States by Milton Friedman
188. Monsieur Proust by Celeste Albaret
189. A Month Of Sundays: Searching For The Spirit And My Sister by Julie               Mars
190. A Moveable Feast by Ernest Hemingway
191. Mrs. Dalloway by Virginia Woolf
192. Mutiny on the Bounty by Charles Nordhoff and James Norman Hall
193. My Lai 4: A Report on the Massacre and It's Aftermath by Seymour M.            Hersh
194. My Life as Author and Editor by H. R. Mencken
195. My Life in Orange: Growing Up with the Guru by Tim Guest
196. Myra Waldo's Travel and Motoring Guide to Europe, 1978 by Myra                    Waldo
197. My Sister's Keeper by Jodi Picoult
198. The Naked and the Dead by Norman Mailer
199. The Name of the Rose by Umberto Eco
200. The Namesake by Jhumpa Lahiri
201. The Nanny Diaries by Emma McLaughlin
202. Nervous System: Or, Losing My Mind in Literature by Jan Lars Jensen
203. New Poems of Emily Dickinson by Emily Dickinson
204. The New Way Things Work by David Macaulay
205. Nickel and Dimed by Barbara Ehrenreich
206. Night by Elie Wiesel
207. Northanger Abbey by Jane Austen
208. The Norton Anthology of Theory and Criticism by William E. Cain,                    Laurie A. Finke, Barbara E. Johnson, John P. McGowan
209. Novels 1930-1942: Dance Night/Come Back to Sorrento, Turn, Magic             Wheel/Angels on Toast/A Time to be Born by Dawn Powell
210. Notes of a Dirty Old Man by Charles Bukowski
211. Of Mice and Men by John Steinbeck
212. Old School by Tobias Wolff
213. On the Road by Jack Kerouac
214. One Flew Over the Cuckoo's Nest by Ken Kesey
215. One Hundred Years of Solitude by Gabriel Garcia Marquez
216. The Opposite of Fate: Memories of a Writing Life by Amy Tan
217. Oracle Night by Paul Auster
218. Oryx and Crake by Margaret Atwood
219. Othello by Shakespeare
220. Our Mutual Friend by Charles Dickens
221. The Outbreak of the Peloponnesian War by Donald Kagan
222. Out of Africa by Isac Dineson
223. The Outsiders by S. E. Hinton
224. A Passage to India by E.M. Forster
225. The Peace of Nicias and the Sicilian Expedition by Donald Kagan
226. The Perks of Being a Wallflower by Stephen Chbosky
227. Peyton Place by Grace Metalious
228. The Picture of Dorian Gray by Oscar Wilde
229. Pigs at the Trough by Arianna Huffington
230. Pinocchio by Carlo Collodi
231. Please Kill Me: The Uncensored Oral History of Punk Legs McNeil and              Gillian McCain
232. The Polysyllabic Spree by Nick Hornby
233. The Portable Dorothy Parker by Dorothy Parker
234. The Portable Nietzche by Fredrich Nietzche
235. The Price of Loyalty: George W. Bush, the White House, and the                        Education of Paul O'Neill by Ron Suskind
236. Pride and Prejudice by Jane Austen
237. Property by Valerie Martin
238. Pushkin: A Biography by T. J. Binyon
239. Pygmalion by George Bernard Shaw
240. Quattrocento by James Mckean
241. A Quiet Storm by Rachel Howzell Hall
242. Rapunzel by Grimm Brothers
243. The Raven by Edgar Allan Poe
244. The Razor's Edge by W. Somerset Maugham
245. Reading Lolita in Tehran: A Memoir in Books by Azar Nafisi
246. Rebecca by Daphne du Maurier
247. Rebecca of Sunnybrook Farm by Kate Douglas Wiggin
248. The Red Tent by Anita Diamant
249. Rescuing Patty Hearst: Memories From a Decade Gone Mad by                     Virginia Holman
250. The Return of the King by J. R. R. Tolkien
251. R Is for Ricochet by Sue Grafton
252. Rita Hayworth by Stephen King
253. Robert's Rules of Order by Henry Robert
254. Roman Holiday by Edith Wharton
255. Romeo and Juliet by William Shakespeare
256. A Room of One's Own by Virginia Woolf
257. A Room with a View by E. M. Forster
258. Rosemary's Baby by Ira Levin
259. The Rough Guide to Europe, 2003 Edition
260. Sacred Time by Ursula Hegi
261. Sanctuary by William Faulkner
262. Savage Beauty: The Life of Edna St. Vincent Millay by Nancy Milford
263. Say Goodbye to Daisy Miller by Henry James
264. The Scarecrow of Oz by Frank L. Baum
265. The Scarlet Letter by Nathaniel Hawthorne
266. Seabiscuit: An American Legend by Laura Hillenbrand
267. The Second Sex by Simone de Beauvoir
268. The Secret Life of Bees by Sue Monk Kidd
269. Secrets of the Flesh: A Life of Colette by Judith Thurman
270. Selected Hotels of Europe
271. Selected Letters of Dawn Powell: 1913-1965 by Dawn Powell
272. Sense and Sensibility by Jane Austen
273. A Separate Peace by John Knowles
274. Several Biographies of Winston Churchill
275. Sexus by Henry Miller
276. The Shadow of the Wind by Carlos Ruiz Zafon
277. Shane by Jack Shaefer
278. The Shining by Stephen King
279. Siddhartha by Hermann Hesse
280. S Is for Silence by Sue Grafton
281. Slaughter-house Five by Kurt Vonnegut
282. Small Island by Andrea Levy
283. Snows of Kilimanjaro by Ernest Hemingway
284. Snow White and Rose Red by Grimm Brothers
285. Social Origins of Dictatorship and Democracy: Lord and Peasant in                the Making of the Modern World by Barrington Moore
286. The Song of Names by Norman Lebrecht
287. Song of the Simple Truth: The Complete Poems of Julia de Burgos by           Julia de Burgos
288. The Song Reader by Lisa Tucker
289. Songbook by Nick Hornby
290. The Sonnets by William Shakespeare
291. Sonnets from the Portuegese by Elizabeth Barrett Browning
292. Sophie's Choice by William Styron
293. The Sound and the Fury by William Faulkner
294. Speak, Memory by Vladimir Nabokov
295. Stiff: The Curious Lives of Human Cadavers by Mary Roach
296. The Story of My Life by Helen Keller
297. A Streetcar Named Desiree by Tennessee Williams
298. Stuart Little by E. B. White
299. Sun Also Rises by Ernest Hemingway
300. Swann's Way by Marcel Proust
301. Swimming with Giants: My Encounters with Whales, Dolphins and                   Seals by Anne Collett
302. Sybil by Flora Rheta Schreiber
303. A Tale of Two Cities by Charles Dickens
304. Tender Is The Night by F. Scott Fitzgerald
305. Term of Endearment by Larry McMurtry
306. Time and Again by Jack Finney
307. The Time Traveler's Wife by Audrey Niffenegger
308. To Have and Have Not by Ernest Hemingway
309. To Kill a Mockingbird by Harper Lee
310. The Tragedy of Richard III by William Shakespeare
311. A Tree Grows in Brooklyn by Betty Smith
312. The Trial by Franz Kafka
313. The True and Outstanding Adventures of the Hunt Sisters by Elisabeth         Robinson
314. Truth & Beauty: A Friendship by Ann Patchett
315. Tuesdays with Morrie by Mitch Albom
316. Ulysses by James Joyce
317. The Unabridged Journals of Sylvia Plath 1950-1962 by Sylvia Plath
318. Uncle Tom's Cabin by Harriet Beecher Stowe
319. Unless by Carol Shields
320. Valley of the Dolls by Jacqueline Susann
321. The Vanishing Newspaper by Philip Meyers
322. Vanity Fair by William Makepeace Thackeray
323. Velvet Underground's The Velvet Underground and Nico (Thirty Three and a Third series) by Joe Harvard
324. The Virgin Suicides by Jeffrey Eugenides
325. Waiting for Godot by Samuel Beckett
326. Walden by Henry David Thoreau
327. Walt Disney's Bambi by Felix Salten
328. War and Peace by Leo Tolstoy
329. We Owe You Nothing – Punk Planet: The Collected Interviews edited             by Daniel Sinker
330. What Colour is Your Parachute? 2005 by Richard Nelson Bolles
331. What Happened to Baby Jane by Henry Farrell
332. When the Emperor Was Divine by Julie Otsuka
333. Who Moved My Cheese? by Spencer Johnson
334. Who's Afraid of Virginia Woolf by Edward Albee
335. Wicked: The Life and Times of the Wicked Witch of the West by                        Gregory Maguire
336. The Wizard of Oz by Frank L. Baum
337. Wuthering Heights by Emily Bronte
338. The Yearling by Marjorie Kinnan Rawlings
339. The Year of Magical Thinking by Joan Didion



 

Menunggu tak selalu membosankan
Tak peduli berapa lama kau menunggu 
Semua tergantung pada siapa yang kau tunggu

Gemericik tak begitu terdengar
Ada kaca tebal yang menjadi penghalang
Tapi...
Tarian air dan embun yang menghiasi pagar dan kaca di depan tempatku duduk membuaiku

Aku Menunggu
Dan aku ditemani sahabat baikku 
Tak apa...
Aku tak akan membuatmu tergesa menghampiriku
Aku menikmati waktuku

Banyak hal yang membuatku nyaman disini
Sahabat kesayangan menghiburku
Kali ini aku diajak mengikutu wanita tua mungil di apartemen tua
Baju merah yang dipakainya membuatku terlempar ke masa lalu, ketika rambut panjangku tergerai indah menawan hatimu
Dan ketukan keras pintu kaca membuatku tersadar, ada dia yang kutunggu disana, berusaha menepikan hujan diatas bahu

Aku pun Bangkit, menutup buku tua yang tadi menemaniku, bergegas menemuimu

Lelaki Tangguhku..


Icon Mall
Sudut depan Burger King
Kamis, 26 Januari 2023
15.54 WIB  

Total Tayangan Halaman

Popular Posts

www.penulistangguh.com. Diberdayakan oleh Blogger.