Malam ini terasa bergerak lebih lambat dari malam-malam biasanya. Jam malam sudah lama berlalu. Tinggal di asrama memaksaku bertoleransi lebih dengan peraturan peraturan asrama yang terkadang terasa mengada-ada.

 
Aku tinggal di asrama sekolah di kamar nomor delapan di tingkat dua bangunan sayap timur. Aku tidur bersama sembilan anak dari masing masing kelas. Seharusnya ada dua belas anak yang menempati kamar nomor delapan. Tapi ketiganya pulang kampung tanpa khabar alias menghilang.

 
Alina bilang mereka tidak betah dengan peraturan ketat Suster Wiji selaku kepala asrama. Tapi Phoebe teman dekatku yang terkenal pendiam memberitahuku kalau tiga orang teman kami tersebut dipaksa pulang orang tuanya. Ketika kutanya alasannya, Phoebe hanya mengangkat bahu yang kuartikan dia tidak tahu.

 
Aku punya dugaan sendiri. Aku pernah memergoki mereka tertawa di waktu malam dan membuat ribut kamar kami. Dua minggu sebelumnya Suster Wiji menemukan botol minuman Jack Daniel di dalam tumpukan baju paling bawah di lemari. Kuduga mereka dikeluarkan. Peraturan di sini benar-benar mengerikan.


Kertas surat berwarna pink di depanku baru tertulis delapan kata, “Dear Juno” dan selanjutnya kosong. Aku masih memutar pulpen boxi–ku ketika suara Eva yang cempreng memanggilku. Langkah kaki mendekat terdengar di balik pintu dan pintu yang membuka lalu menutup membuatku yakin untuk mematikan lampu mejaku.

 
Aku masih berusaha menemukan selimut biruku dengan meraba-raba dalam gelap dengan posisi tidur ketika pintu kamar kami dibuka perlahan. Langkah kaki suster Wiji dan Kak Grace mendekat ke ranjang tempatku berbaring. Kulihat Kak Grace iseng menyorot senter ke arah mukaku membuatku silau. Aku masih berpura-pura tertidur ketika terasa seseorang menggelitik kakiku. Kutahan sedapat mungkin sambil mengumpat pelan. Akhirnya pintu menutup dan kamar kami kembali hening.


Sambil menghitung mundur bilangan prima dari angka 101, aku akhirnya terhanyut dalam mimpi. “Mengapa kau tak memberi khabar?” aku menatap Juno dengan pandangan bertanya yang hanya berbalas diam. Aku sudah siap membalikkan badan ketika terdengar suara beratnya memanggil namaku pelan dan ragu. “Andini...” Juno menyebut namaku dengan nada yang kusuka. Aku ingat ketika hari pertama kami tak sengaja bertemu di Pasar Besak. Juno sedang berdiri dibawah terik matahari dengan lipatan karung kosong disampingnya di dekat kios Kerupuk Kemplang langgananku. Dia terlihat bediri sambil lalu dengan tangan yang sesekali bertaut dan mata yang menerawang menatap taksi merah yang memanggil-manggil. 


Aku menggenggam tangan Ibu lebih erat ketika akhirnya harus melewati Juno untuk bisa masuk ke toko itu. Panggilan pelannya membuatku ragu untuk menoleh. Dan aku tidak menoleh. Aku terlalu takut dan malu bila ternyata aku yang salah mendengar. Tapi panggilannya  kali ini membuatku merasa dejavu. Sekarang aku yakin. Di Pasar Besak di depan Toko Kerupuk itu, Juno memang memanggil namaku.


“Aku menitipkan surat pada Ayuk Leni di subuh keberangkatanmu.” Suara Juno membuatku ingin menatapnya. “Aku menitipkan surat samo Kak Feri di pagi pertama kepulanganmu setelah wisuda SMP,” terdengar Juno meninggikan suaranya sedikit membuatku semakin ciut. “Aku menemui Pak Subroto pada tahun pertama kau masuk SMA ketika Ayahmu berniat ke Surabaya menemuimu dan aku  menitipkan surat yang ketiga” suara Juno kembali terdengar dan aku tak sabar pergi dari hadapannya. Aku tak siap dengan jawabanku. 


Kriiiiiiiiing!!!


Terdengar jam beker berbunyi tepat di telinga kiriku. Aku menyembunyikan kepalaku di bantal bersarung putih dengan logo SM. “ Duggg” teriakanku terdengar mengenaskan ketika bantal itu ditarik paksa tangan putih pucat dan ringkih. Aku ingin berteriak hantu ketika tatapan marah Kak Grace mendominasi mukaku. Sial kenapa makhluk pucat ini senang sekali menggangguku. Kusibakkan selimutku dengan kasar, melemparnya asal-asalan ketika suara Suster Wiji tertangkap inderaku sedang menuju ke kamar nomor Dua Belas. Kuambil kembali selimut yang tadi kulempar dan kulipat serapi mungkin lalu kutarik ujung-ujung seprai yang mencuat di ujung.

 
Bantal putih, selimut putih dan seprai putih di kamar asrama ini membuatku menggigil. Aku tak pernah suka warna putih. Aku terintimidasi dengan warna putih. Itu sebabnya aku meletakkan butiran M&M di permukaan kasurku. Aku tahu Alina sering mengambil M&M yang kutabur tanpa sepengetahuanku dan dengan sepengetahuanku. Alina berlagak tak peduli sambil terus mengunyah MnM-ku. Dasar pencuri tak punya malu.


Aku keluar dari kamar mandi ketika jam berdentang di angka lima. Teman-temanku sudah banyak yang berseragam rapi. Alina  dan Phoebe tampak asyik membicarakan sesuatu. Hmm.. aku menebak mereka pasti sedang merencanakan untuk menyontek di ulangan kimia nanti. Alina, Phoebe dan Aku teman sekelas. Alina  berasal dari Fakfak Irian Jaya sedangkan Phoebe dari Papua. 


Alina keturunan Chinese sedangkan Phoebe puteri Papua aseli. Aku lebih dekat dengan Phoebe karena Alina terlalu cerewet untukku. Kadang tanpa kuminta Alina akan sibuk meracau bercerita ke Kak Grace ketua asrama yang juga kakaknya tentang tingkahku. Dan kak grace seperti magnet yang menemukan kutubnya mulai sibuk memantauku, mengusiliku dan menguntitku. Menyebalkan. Aku tak tahu persis cerita apa yang didongengkan Alina ke Kak Grace atau tepatnya apa yang membuat Kak Grace tertarik pada kelakuanku. Sial memikirkan kakak beradik itu  membuat kepalaku pening seketika.


Aku masih menyisir rambut ikalku ketika  Andrea, anak kelas 10 yang tidur di kasur paling ujung mengingatkanku lima menit lagi bel berbunyi. Lamunanku putus, kuambil tas hitam di atas meja belajar dan buku gambarA3 di bawahnya sambil berlali menyusul Andrea yang sudah hilang dari pandangan. Cepat sekali larinya. Tepat di ujung anak tangga terakhir bel berdentang keras. Sial terlambat lagi.
Aku berlari sekencang kumampu melintasi halaman luas pemisah asrama dan bangunan merah bata di depanku. Huff.. jantungku berdetak lebih kencang sampai kukira bakal lepas dan menggelinding di lantai marmer putih mengkilat di sebelah ruang TU. Pak Sandro sedang berjalan menuju kelasku. Aku mengikutinya dengan langkah tertahan  berusaha tak menimbulkan suara. Ketika pintu kelas 11A2 dibuka aku mengikutinya dan berlari cepat menuju bangku di meja terdepan. Lavenia teman sebangkuku  melirik sekilas sambil melempar senyum pengertiannya.


“Mimpiin Juno lagi ya sampai kesiangan?” terdengar nada sok tahu Nia. “Aku kok mimpiin dia terus ya?” aku balik bertanya bingung ke Nia. Nia mengabaikan pertanyaanku. Pak Sandro menyuruh anak-anak membuka Buku Paket Biologi kami dan bersama-sama mengoreksi PR pilihan ganda sebanyak 30 soal tentang Amoeba. 


Aku suka cara mengajar Pak Sandro dan aku suka pelajaran Biologi. Aku tiba tiba ingat Ayah setiap kali Pak Sandro mulai menyebutkan nama-nama latin dari sejumlah spesies yang kami kenal. Aku senang melafalkan nama nama latin yag kutahu. Lidahku seakan menari ketika aku melakukannya. Aku sangat suka Biologi. Aku ingin tahu apa nama latin kopi merah yang aromanya lekat dengan masa kecilku. Aroma kopi merah basah dan keringat. Aroma Juno. Tiba tiba aku ingat dengan kertas surat pink pucat yang hanya berisi dua kata Dear Juno.


Kami masih berkonsentrasi dengan buku paket masing-masing ketika terdengar suara nyaring yang sangat kukenal. Tawa anak pecah dan tertuduhnya adalah Terre anak Bu Lestari guru Kimia kami. Aku ikut merasa tak enak atas bencana kecil itu. Teriakan mengejek yang membuat pipi memerah, terdengar tak berkesudahan. Kulirik Pak Sandro memintanya meredam keriuhan di kelas kami. Terre menunduk  dan merosot jauh di kursi kayu besar di pojok ruangan depan.


Aku teringat dengan teman-teman yang mengejekku di kelas olah raga selama aku SD, rasanya seperti merasakan lagi momentum itu. Tersudut di tempatku berdiri memohon dalam hati teman-temanku behenti menyoraki kebodohanku. “Pak Sandro, aku nggak bisa konsentrasi nih, anak anak ribut” suaraku lantang terdengar. Pak Sandro tersentak, sedetik sebelum memukulkan penggaris kayu ke atas papan tulis hitam di depan kelas. Semburan kapur putih  dan suara pukulan yang keras membuat teman temanku terdiam seketika. 


Kulirik Alina dan Phoebe terkikik pelan sambil melihatku. Aku tahu banyak mata yang memandangi punggungku, mungkin mengira-ngira sejak kapan Andini bisa berteriak lantang. Sejak kapan Andini bisa bersuara di kelas tanpa diminta. Aku menimbulkan kebingungan baru di pikiran teman-temanku. Andini yang pendiam. Andini yang pemurung. Andini yang penyendiri ternyata bisa bersuara.


“Andin tunggu” teriakan Alina membuatku mempercepat langkahku. Aku tak ingin Alina punya gossip baru yang bisa dibaginya pada Kak Grace. 


“Andin, bukumu jatuh!” suara buku yang menampar pundakku akhirnya membuatku berhenti.“ Apa-apaan sih kamu, dipanggil kura-kura dalam perahu” dengan napas tersengal Alina melotot tajam seakan meminta penjelasan mengapa. “Kamu sengaja ya cepet-cepetan ninggalin aku” cerocos Alina sambil menyodorkan buku paket biologi ke tanganku.

 
Sebuah amplop biru tersembul. Kutatap Alina dengan tatapan bertanya. Alina dengan muka menyebalkan mulai kedip-kedip kayak orang kelilipan semut rangrang. ish... Kutinggalkan Alina cepat setelah mengucapkan terima kasih dengan tergesa. Aku tak ingin Alina tahu tentang surat biru muda itu.Tapi aku tak yakin Alina tidak usil membukanya. OH Tuhan, jangan Alina deh. Alina kan ember bocor. Apa saja yang dituangkan ke dalamnya... bakal abis tumpah teka bersisa selain basah dan jadi gossip  paling hits di asrama dan di sekolah. 

Bersambung..







0 comments:

Posting Komentar

Total Tayangan Halaman

Popular Posts

www.penulistangguh.com. Diberdayakan oleh Blogger.