BAGIAN SATU

TERLAMBAT

 

Andini

Aku masih asyik menyelesaikan pohon faktor dari tugas yang diberikan Bu Mutia ketika pintu terhempas membuka dan seorang laki laki dengan tinggi badan melampaui teman sekelasku masuk bergegas menuju meja guru yang berjarak sejengkal dari tempatku. Aku tersentak ketika Bu Mutia memanggil namaku dan menyuruhku mengambil buku absensi kedisiplinan. “Tuliskan nama Jano, catat hari dan jam kedatangannya. Jangan lupa laporkan sabtu depan ke meja Ibu.” “Baik Bu Mutia” balasku memberanikan diri menatap Jano dengan penasaran, meskipun obyek didepanku tampak sibuk sendiri mengusap peluh yang menetes dari kening, leher dan lengannya yang gempal.

Bagaimana mungkin seorang anak kelas lima SD berpeluh sedemikian banyak pada jam delapan pagi, pikirku heran. Kami tinggal di  pegunungan dengan hutan lebat terbentang antar desa. Gigil kami di pagi hari rasanya masih membekas. Aneh.

 

...

Tatapan

Suara bel dari gong kecil didepan ruang guru terdengar sampai ke kelas kami yang terletak di ujung, dan berbatasan dengan pagar sekolah. Meli melompatiku yang masih berusaha memasukkan  LKS Matematika ke dalam laci meja. Sial, kepalaku hampir saja membentur meja. Aku sudah  bersiap meneriaki Meli ketika Jano melewati mejaku dan pukulan tangannya mendarat cukup keras di meja dan membuatku mendongak.

“Apa apan sih!” teriakku keras. Omelan yang seharusnya untuk Meli kualihkan ke Jano. Tanpa sadar aku berdiri menatapnya dengan sedikit mendongak berusaha menerka maksudnya.

Pertanyaanku hanya berbalas tatapan sekilas dari Jano. Tanpa berhenti, Jano melewatiku dengan pelan, tanpa bergegas tanpa menoleh dan tanpa rasa bersalah.

Aku teringat nasehat emak tentang Jano, “jangan terlalu dekat dengan Jano, dia berbahaya, dia berbeda dengan kita Andini, ”entah apa maksud emak.”

Aku masih berusaha menebak apa yang terjadi ketika suara riuh teman sekelas membuatku menoleh dan menghampiri. Keingintahuanku membuatku setengah berlari menuju pintu keluar dan menabrak tubuh hitam legam yang sedang bersandar santai di pintu kelas kami yang setengah terbuka. Tatapan mematikan kembali mengarah padaku, aku melupakan pening dan denyutan di keningku yang mungkin akan membiru karena kerasnya benturan dan segera berlalu menjauh. Jika tadi tujuan utamaku berlari untuk melihat paa ynag terjadi, sekaramg aku hanya ingin lari menjauh dari tubuh hitam menakutkan yang ada di depanku.

Suara Meli  dan Torik  yang memanggilku bersahutan makin keras ketika aku sudah mencapai lapangan. Puluhan anak riuh memperhatikan seekor kerbau yang terihat bingung menerjang kesana kemari di tengah lapangan. Bu Mutia, Pak Didi, Pak Dani dan guru lainnya terlihat berusaha menenangkan kerbau hitam itu ditengah riuh suara tepuk dan sorai murid. Terlihat kerbau semakin menjadi dan menerjang makin mendekat, semua murid berlarian masuk ke kelas  untuk menghindar termasuk aku. Sambil berusaha mengintip kerbau yang masih liar di halaman tiba tiba aku teringat Juno. Juno sehari hari bekerja dengan kerbau Pakwo Dodik.

 

Jano

Sial!!!

Untuk ketiga kalinya di minggu ini aku terlambat masuk kelas. Aku membuka pintu kelas dengan tergesa. Sambil melihat jam dinding di  atas papan tulis hitam, aku melihat sekilas ke arah meja diseberang meja Bu Mutia.

Benar benar murid teladan dan anak emas guru. Sementara teman sekelas lainnya asyik mengobrol atau saling melempar pesawat terbang kertas, anak perempuan itu asyik menyelesaikan soal matematika.

Aku tak perlu mengarang alasan berbeda setiap kali bertemu Bu Mutia. Beliau tahu dan mengerti benar alasanku terlambat. Hanya rutinitas yang membuatnya memanggil si judes itu untuk menuliskan namaku di buku catatan kedisiplinan siswa.

Namanya Andini. Si juara satu, jago bahasa inggris dan jago pidato. Aku lupa apakah karena kepintarannya atau judesnya yang membuat ia selalu diingat. Atau silsilah keluarga sebagai cucu Uwak Marzuki yang kaya raya.

 

Bel baru saja berbunyi ketika Si Bengal yang duduk disamping Andini melompatinya dengan tiba tiba. Aku akan lewat dan tak sadar mengetuk meja mereka dengan sedikit keras. Aku memberikan pandangan tak setuju dengan tingkah Meli ketika Si Jutek mulai berkicau. Sial!!! Suara cemprengnya langsung memecah keriuhan yang tadinya  tak seberapa.

Aku membayangkan Andini adalah sebuah petasan yang dipegang seorang penggugup. Kapanpun , kita harus selalu siap mendengar  ceracaunya. Terus terang suara omelannya membuat telingaku pekak. Kasihan sekali mamak dan bapaknya. Untunglah dia tak bersaudara.

 

LOMPAT JAUH

Andini

Suara Pak Ashari menggelegar di lapangan. Teriakannya membuat ciut semua siswi termasuk aku, tentu saja kecuali Meli. Kulirik sekilas tatapannya yang fokus menatap kolam pasir sekitar lima meter dari tempat kami berdiri.
Training putih hijau yang dipakainya terlihat pas di tubuhnya yang tinggi. Sambil bersiap menunggu peluit dari Pak Ashari, Meli menautkan jemarinya dan kletak kletak, terdengar suara mengerikan dari jemarinya yang direnggangkan dengan kencang. Oh ya ampun, dasar bengal!!.

“Priiit” suara peluit Pak Ashari hampir membuatku terjatuh. Sial!!. Untung tak ada yang memperhatikan betapa gemetarnya aku. Jika ada pelajaran yang paling kuhindari itu adalah Olahraga. Dan jika ditanya olahraga apa yang membuatku tak suka, aku akan berteriak semuanya.

Suara tepukan  mulai terpindai. Meli melompat dengan sempurna. Lompatannya jauh, bahkan mungkin paling jauh dibanding anak laki-laki yang sok jago sekalipun. Kalau ada yang menandinginya. Jano lah orangnya.

“Andini, giliranmu,” teriak Pak Ashari tanpa ampun.

Dan anak-anak mulai riuh menyorakiku. Aku tahu mereka senang menertawakanku di belakang. Mereka hanya bermanis manis jika butuh aku untuk menjelaskan soal Matematika atau membantu membuat pantun untuk tugas Bahasa Indonesia. Teman temanku semuanya munafik.

Lututku gemetar, pijakanku goyah dan bahkan beberapa detik setelah peluit ditiup aku masih gemetar berlari ke arah bak pasir lima meter di depanku. Aku berlari pelan dengan ragu. Hasilnya membuat pak Ashari melotot. Aku berlalu berusaha menepikan pelototan Pak Ashari dan  berlari menuju ke arah sungai kecil di belakang sekolah.

Sungai di belakang gedung  sekolah mengalir pelan tanpa riak. Dalamnya hanya sekitar lima belas sentimeter dengan luas sekitar dua meter. Airnya mengalir jernih dan menenangkan. Sambil mengusap titik air mata yang tak mampu kutahan, aku merendam kakiku. Sorakan teman teman di lapangan sayup terdengar dari tempatku duduk. Aku tak menyadari berapa waktu berlalu hingga hening. Tanpa tergesa kupakai kembali sepatu kets merah hadiah Ayah yang masih menyisakan ruang di kaki mungilku.

Aku berjarak lima meter dari pintu kelasku, pintu cokelat dengan tulisan akrilik  KELAS ENAM warna hitam yang baru dipasang sekitar sebulan lalu ketika langkah cepat seseorang melewatiku. Aku tahu tanpa menoleh siapa. Aromanya adalah aroma wangi kopi merah bercampur peluh, sedikit manis dan menyegarkan. Aku heran darimana kulit hitam legamnya berasal. Yang kutahu Uwak Ken punya kulit yang menarik untuk dilihat, bahkan Makwo Emi punya mata sipit dengan kulit putih seperti orang Tionghoa yang memang merupakan ras kebanyakan di kampungku. Mungkin benar kata orang, Jano anak buangan, Jano anak titipan penghuni kebun kopi di seberang sungai Lintang. Anak makhluk jadi jadian. Tanpa sadar aku bergidik pelan sambil mendekapkan tangan ke tubuh.

Tepat jam dua belas, gong kecil kembali berkelontang. Setiap pintu cokelat dihempas dengan keras diiringi teriakan ramai dari teman teman sebayaku. Aku membayangkan mereka adalah peluru yang berdesing dari senapan otomatis. Suara teriakan mereka adalah desingnya. Tanpa tergesa kusandang ransel hitam di atas meja dan menenteng novel Alisyahbana yang belum selesai kubaca menyusul teman temanku.

 

Juno

Jam tujuh kurang sepuluh menit aku sudah meletakkan tas  di meja. Meli tersenyum lebar menyambutku. Celotehnya lebih banyak terdengar kalau teman sebangkunya tak ada. Dengan tangan kurusnya Meli mengajakku ber-high five. Ditariknya lenganku menuju pintu keluar. Kekuatan tubuh Meli sedikit tak terduga. Orang mengira Meli kurang gizi karena tampak ceking dibanding teman temannya. Tapi banyak menduga ia punya kekuatan herkules wanita. Seperti sekarang, tarikannya membuat lenganku berdenyut protes. Makan apa sih nih anak.

“Hari ini Olahraganya lompat jauh!. Lihat bak pasirnya sudah diratakan dan bantalannya sudah disiapkan,” sapa Meli dengan gembira.

“Hmm, membosankan!” jawabku pelan sambil  bergerak meninggalkannya yang masih tersenyum memandang bak pasir  di ujung kiri lapangan.

 

...

Aku masih asyik memandangi sepatu bututku ketika suara anak anak terdengar lebih riuh dari biasanya. Giliran kami anak laki laki sudah selesai. Kulirik sekilas temanku yang masih berdiri pucat di garis start. Tubuh mungil itu gemetar. Melihat wajahnya aku teringat kambing Wak Samem yang terjebak di pagar kayu kemarin petang, putus asa.

Suara peluit Pak Ashari hampir saja membuat Andini terjungkal. Dengan  tak pasti diseretnya kaki kecil itu hingga akhirnya  sampai juga di bak pasir dengan pelan. Aku bahkan  mampu menghitung pasti berapa langkah yang dibutuhkannya untuk sampai di sana. Hasilnya bahkan lebih buruk dari perkiraanku.

Sorakan mengejek makin ramai terdengar. Mungkin itu luapan kekesalan teman temanku pada si anak emas. Mereka tak mampu mengunggulinya di mata pelajaran apapun, mereka selalu kalah, mereka jengkel. Hanya di pelajaran Olahraga mereka mampu membuat seorang anak kepala sekolah keok.

Kupikir pikir teman temanku cukup kejam. Mereka meneriaki Andini yang berlalu dengan kepala tertunduk ke arah belakang sekolah tanpa henti. Pak Ashari  seperti membiarkan. Aku sempat menatap Pamanku dengan tatapan bertanya, dan berbalas gerakan di bahu seakan berkata biarkan saja.

Lima menit setelah Andini menghilang di balik gedung sekolah, rasa ingin tahu membuatku melangkah ke arah yang sama. Aku melihat seorang anak kecil sedang merendam kaki di sungai dengan sesekali tangannya mengusap matanya yang basah. Andini menangis, aku tak pernah melihatnya menangis. Kurasa apa yang terjadi hari ini membuatnya malu. Aneh membayangkan si gadis jutek itu bersedih. Seperti minum seduhan  kopi yang bercampur dengan kulit, membuat kening bertaut.

Aku menunggu saat yang tepat untuk mengajaknya bicara, meskipun terlihat mustahil melihat sikapnya denganku. Bagaimanapun aku ingin bercerita yang sejujurnya pada Andini, adikku.

Bersambung...


1 komentar:

Total Tayangan Halaman

Popular Posts

www.penulistangguh.com. Diberdayakan oleh Blogger.