Jika kau sekedar singgah, 
Aku mohon, bersikaplah seperti tamu,
Agar aku tak salah,

Harus menyuguhkan kopi atau hati.

Juno masih tenggelam dengan buku tulis biru tipis di tangannya, ketika suara Abah terdengar memanggil namanya pelan. Abah tak segarang dulu lagi. Suaranya sekarang tak lagi lantang dan menggelegar. Suaranya meredup bersamaan dengan berat badan yang kian meyusut. Dulu Abah adalah orang paling perkasa di kampung satu. Badannya kekar dan atletis. Kulit sawo matang dan rambut hitam legam dengan tinggi di atas rata-rata orang Desa Tebing, 187 cm. Abah menonjol diantara kebanyakan petani kopi di daerah sini. 

Tapi empat tahun yang lalu tragedi menghampiri Abah, merampas harga diri Abah. Sejak itu Abah berubah. Abah makin jarang berkumpul dengan warga sekitar. Kalau dulu Abah bukan orang yang suka mengobrol, sekarang Abah benar-benar tidak ingin mengobrol dengan tetangga kanan kiri. Abah tetap rajin pulang pergi ke kebon kopi yang berjarak sekitar tujuh kilometer dari desa menuju ke arah bukit di hulu desa. Tapi Abah mengabaikan undangan sedekah yang tak putus datangnya. Biasanya Abah paling diandalkan di Balai Lembongan untuk urusan menanak nasi dan memotong kerbau menjadi potongan yang tepat dimasak rendang, malbi, gulai sampai pindang daging. Dibutuhkan orang yang punya fisik kuat dan pengalaman seperti Abah agar daging kerbau bisa dimasak sesuai dengan jenisnya. 

“Ini Kopi Abah, masih panas, tunggulah sebentar” kuletakkan segelas kopi hitam pekat tanpa gula kesukaan Abah. Seperti kebanyakan orang Tebing dan sekitar, kopi adalah minuman wajib di pagi, siang, sore, malam dan ketika berbincang menemani malam. Semakin banyak orang bertamu atau kita bertamu, yang hampir setiap malam, sebanyak itu juga kopi diminum. Lima gelas kopi perhari adalah jumlah minimal yang diminum orang Tebing. Kopi adalah urat nadi dan hidangan sehari-hari di sini. Jika ada yang bisa menyaingi kopi itu adalah pempek dan cuko. Apalah jadinya penduduk Tebing tanpa kopi, pempek dan cuko hitam. 

“Besok senin kau baliklah ke Muaro Enim, naik mobil Pakcik Ujang, berangkat jam tujuh” suara Abah membuatku urung berdiri. “Juno masuk sekolah masih tigo hari lagi Abah, Juno balik minggu sore be” aku duduk di sisi pembaringan Ayah. Dipan baghi peninggalan Nek Anang. Sehelai kasur kapuk tipis tampak mengenaskan dibawah tubuh kurus Abah. Kasur kapuk itu menjadi saksi kekuatan dan keperkasaan Abah. Menampung berat tubuh Abah bertahun-tahun dan tetap setia meskipun  terlihat sekarat. Kasihan Abah harus merasakan papan kayu yg keras yang tak mampu dihadang kasur kapuk, kasihan mereka berdua.

“Ai alangke senang kau nih melamun, kau tuh lanang bukan gadis tujuh belasan”, bentakan Abah membuat mataku tertunduk. Merasa tak semestinya mengasihani Abah dan kasur kapuknya. Abah paling benci dengan rasa kasihan. “Abah istirahatlah, Juno besok yang ke Kebon” kutinggalkan Abah sebelum sempat membantah. Kututup pintu kayu cokelat dengan pelan, suara deritan papan yang kuinjak mengikutiku hingga di pintu ruang tengah. Kamarku terletak di ujung depan di sebelah kiri, dengan pintu tepat menghadap ke pintu masuk rumah. Tiga jendela kecil yang mengarah ke jalan utama masih terbuka lebar. Gorden bergoyang-goyang di topang papan bulat yang diletakkan seperti palang di tiap jendela. Ada kursi rotan kecil di dekat jendela paling kiri tempatku tadi duduk sambil merokok. Gelas berisi kopi sudah tandas, abu rokok berserakan di asbak putih bening yang rempal di salah satu bagian. Aku sengaja merokok di depan jendela sehingga asapnya terhisap udara pegunungan yang membuat gigil. Abah tak suka melihatku merokok, aku tahu. Tapi Abah tak pernah mengucapkannya. Aku malu sendiri menyadari kebodohanku. 

Andai Abah tahu alasan utamaku merokok sepanjang waktu. Tanganku terkepal ketika melihat wanita tua di bale-bale tua tepat di jendela seberang sedang mengaji seperti sengaja mencemoohku.

bersambung....

4 komentar:

Total Tayangan Halaman

Popular Posts

www.penulistangguh.com. Diberdayakan oleh Blogger.