Aku tahu tanpa melihat,
sekarang sudah lebih dari jam Sembilan malam. Warung Ayuk Deti sudah tutup
sekitar sejam lalu. Anak-anak sudah dipanggil pulang dan tidur dalam gelap.
Pendar obor berkilauan dari celah celah
papan rumah panggung di desaku. Sebagian besar tetanggaku sudah terlelap.
Disini malam beranjak lebih lambat. Jarum jam seakan bosan berputar. Malam pekat dan mencekam. Ada
banyak maling yang sedang mempersiapkan diri menyatroni rumah rumah juragan
kopi. Musim kopi sedang berlangsung. Panen berhasil. Emas emas kuning yang
dibeli di Pasar Besak pagar Alam dibeli dan ditumpuk di lemari pakaian ditutup berlapis tumpukan pakaian. Banyak
orang kaya dadakan di desa. Tapi tak ada yang bermewah mewah seperti orang
kota. Kami terbiasa menimbun emas untuk dijual pada musim paceklik atau ujung
musim. Kami hanya merayakan panen melimpah dengan membeli sekilo dua kilo
daging kerbau atau ikan Guan. Itu sudah cukup untuk merayakan kebahagiaan kami.
Budak kecik dibelikan baju baru, tak lebih dari sehelai.
Panen kebon Abah juga berhasil. Hampir tiga ton kopi berhasil kami
jual ke Toke Asep. Abah menyuruhku menitipkan uang hasil kopi pada Uwak Soleh
untuk disetor ke Bank. Abah dari dulu bukan orang yang senang membeli barang. Kasur kapuknya saja
tak kunjung diganti. Abah bahkan cenderung pelit untuk urusan uang. Aku
maklum kalau Abah punya anak perempuan, setahuku aku anak satu satunya Abah dan
aku tidak tahu untuk apa uang hasil
panen di setor ke Uwak Soleh. Aku tahu Abah tidak suka berhutang. Menanyakan
langsung ke Uwak Soleh aku merasa tidak enak. Abah sendiri diam setiap kali
kutanya untuk apa uang hasil panen.
Di sini anak perempuan butuh
uang untuk biaya menikahkan. Dua ekor
kerbau, sewa orkes melayu, negak balai dan lain-lain. Punya banyak anak gadis
artinya harus siap uang banyak untuk sedekah. Anak lanang leb ih praktis. Tak
kuat melamar anak gadis, merantau masih bisa jadi pilihan. Menikah dengan
orang luar Sumatera. Gadis Jawa kabarnya tak telau banyak meminta asal saling
suka.
Tiba-tiba aku ingin
menghentikan waktu untuk sesaat. Tak sampai dua bulan lagi, ujian kelulusan SMP
dilaksanakan. Aku sudah lama bertekat merantau ke tanah Jawa. Andi dan Ujang
sudah pasti meneruskan SMA di Palembang.
Meli dan Aida ingin merantau ke Bengkulu. Anton berangkat ke Jambi menyusul ayuknya. Aku ingin ke Pulau Jawa. Tepatnya ke
Pulau Jawa paling timur. Ke tempat teman masa kecilnya sekarang berada.
Rutinitas yang biasanya Abah
lakukan setiap hari sekarang menjadi rutinitasku selama liburan. Libur dua
minggu sebelum ujian kelulusan bertepatan dengan musim panen kopi. Sekarang Jam enam pagi, jalanan masih belum sepenuhnya terlihat.
Jaket tebal yang biasa dipakai Abah rasanya tak mampu menahan dinginnya udara
pegunungan. Mulutku mengeluarkan uap. Kugenggam cangkir kopiku lebih erat mencoba
menyerap hangat yang masih tersisa di sana. Masih sekitar sepuluh menit lagi
sebelum taksi tua milik Mang Ujang datang dan mengantar kami ke Kebon.
Banyak pekerja musiman yang
ikut menunggu di pinggir jalan disamping warung Ayuk Deti. Panen Kopi memang
menjadi magnet bagi perantau dari tanah jawa untuk ikut mengais rejeki dengan
menyewakan tenaga mereka yang kuat untuk ikut memetik biji merah itu lalu
memanggulnya hingga ke lumbung. Mereka tak banyak minta, dibayar sesuai
banyaknya kopi yang berhasil dipetik lalu pulang. Abah pernah berkata, mereka
adalah imigran yang ingin mengadu nasib disini. Secara materi hidup mereka
sudah mencukupi. Rata-rata punya kebun sendiri atau usaha buka warung. Tapi
panen kopi yang melimpah butuh banyak tenaga ekstra. Tak banyak orang aseli
Tebing atau aseli Sumatera yang tertarik menjadi petani kopi kecuali mereka tak
punya pilihan lain. Suatu pagi Abah pernah bertanya, apakah aku ingin menjual
kebun kopi yang kami miliki dan menggunakannya untuk membuka usaha. Aku hanya
diam sambil menatap mata Abah. Sejak itu Abah tak pernah bertanya lagi. Abah
tahu, aku takkan pernah menjual kebunnya. Kebun kopi itu adalah hidupku.
Taksi berhenti tak jauh dari
tempat pekerja itu berkumpul. Penampakan mereka tak jauh berbeda denganku.
Jaket tebal, keranjang rotan dengan tali dari sarung yang dililit dan kupluk
tebal sambil tak henti menautkan tangan mencoba menghalau dingin. Aku
menyeberangi jalan penuh lubang dengan aspal yang berlubang disana sini,
bergabung dengan mereka. Tinggiku menjulang hampir menyamai Mang Diran yang
kutahu berasal dari suatu kota di Jawa Timur. “Ai ado bujang alap,“ suara Mang
Ujang menyapaku dari balik kemudi. Kusambut tangan Mang Ujang dan menciumnya
dengan takzim. Mang Ujang adalah adik Abah. Kuraih satu persatu tangan orang
orang yang duduk berhadapan di taksi, aku yang paling kecil di sini.
Aku duduk dekat pintu yang
terbuka dengan kaki terjulur di depan. Diiringi udara yang mendesir dan
gemeletuk mulut kami, taksi melaju kencang di jalanan yang lebih banyak lubang
daripada aspalnya. Desaku tak pernah tersentuh roda pembangunan. Jangankan
jalan, listrik pun masih tak kunjung datang. Suara klakson bersahutan memenuhi
pagi. Setiap kali ada kendaraan terlihat dari arah depan dengan laju yang tak
kalah kencangnya, tangan Mang Ujang otomatis menekan klakson panjang untuk peringatan agar menjauh. Taksi kami tak
mengurangi kecepatannya meskipun di tikungan atau berpapasan jalan dengan taksi lain. Mang Ujang adalah satu dari
banyak sopir ugal-ugalan di sini. Darah Sumatera memang tak bisa bohong,
meledak ledak dan tak mau kalah. Doa sapu jagat kuucap dalam hati sambil memohon Tuhan agar jangan terlalu
cepat memanggil kami. Jangan sekarang, di saat ada banyak biji kopi yang siap
kami petik dan ditukar emas. Kulirik Mang Diran dan teman temannya. Dengan
mulut komat kamit dan muka seputih kertas mereka khusyuk berdoa. Memang berbeda perangai orang
Jawa dan Sumatera. Seperti wajan dan panci pindang. Aku tergelak dalam hati
sampai lupa doaku sendiri.
Setelah lima belas menit perjalanan ke hulu desa.
Kami sampai di pematang. Taksi Mang Ujang tak mampu mengantar kami lebih jauh.
Jalan yang mendaki dan terjal tanpa aspal bukan tandingan. Di sinilah stamina
kami diuji. Dua sampai tiga kilometer kedepan harus kami lalui dengan cepat
sebelum matahari meninggi dan membuat perjalanan semakin sulit. Jalan itu
selebar dua meter dan didominasi batu kerikil berukuran sedang dan batu batu
besar yang menonjol disana sini. Kami berjalan beriringan dalam hening.
Keranjang bergelayutan di leher kami. Kanan kiri kami adalah kebun orang yang
mujur benar dekat dengan jalan raya tanpa perlu berjalan seperti kami. Makin
dekat dengan jalan raya makin rawan dijarah garong kopi yang berkeliaran.
Kira-kira satu kilometer
berjalan terlihat Dangau kecil rapi dari celah pepohonan. Aku melambatkan
langkah. Terdengar gemericik air dari sungai kecil di belakang danau. Ada
sebelas pijakan batu dari mulai ujung tangga di belakang dangau sampai ke
tepian sungai kecil itu. Ada jemuran kayu di sebelah kanan dan kandang ayam di
kirinya. Dangau itu terlihat sunyi. Tapi bekas api unggun di dekat gunungan
biru terpal menandakan adanya kehidupan.
Tiba tiba aku membayangkan kaki kecil Andini melompat dari batu satu ke batu
lainnya sambil membawa keranjang baju menuju sungai. Rambut ekor kudanya
bergerak ke kanan ke kiri. Andini terlihat setidaknya empat kali dalam setahun di
pondok itu ketika masih duduk di sekolah dasar. Pondok itu milik Kakeknya yang tersohor. Uwak
Marzuki. Tapi itu dulu, sebelum Andini merantau ke tanah jawa.
Bersambung ...
0 comments:
Posting Komentar