Jalanan desa penuh dengan siswa-siswi berseragam merah putih.
Sekolah kami terletak di ujung desa berbatasan langsung dengan hutan Meruang
yang terkenal angker. Rombongan babi hutan seringkali terlihat menyeberang pada
jam enam ketika anak anak piket pagi.
Aku melewati Andini yang berjalan sendiri menenteng novel
selebar buku tulis yang dibawanya sejak selasa. Anak ini kutu buku, aku tahu
koleksi buku ayahnya sangat banyak. Aku pernah beberapa kali mampir ke rumah
Kakeknya di hulu desa membawa kopi mentah untuk ditimbang. Di meja kayu
panjang di sisi teras samping, ada foto
Andini dan Ayah Ibunya berlatar ribuan buku dari rak-rak kayu hitam. Andini
berumur enam tahun di foto itu tampak bahagia dipangku orang tuanya.
Andini adalah gadis kecil yang kesepian. Teman baiknya adalah
koleksi buku buku ayahnya. Tak punya saudara, tak punya teman dan tak punya
kerabat. Ayahnya perantauan dari Jawa, Ibunya anak tunggal dari Uwak Marzuki.
Satu-satunya teman yang terlihat dekat dengan Andini adalah Feri, sepupu jauhnya
yang sekarang duduk di kelas tiga SMP. Tapi SMP terdekat berjarak hampir lima
belas kilometer di dekat Pasar Baru di kecamatan, jadi mungkin hanya seminggu
sekali Andini bisa bertemu sepupunya.
Meli pernah berkata Andini itu aneh, dia sering tertawa sendiri
ketika membaca dan seperti berbicara sendiri di lain waktu. Bagiku itu juga
aneh.
Aku pernah menegur Meli agar lebih akrab dan bersikap baik
dengan teman sebangkunya. Meli balas melotot dengan marah “Kenapa tak kau
sendiri yang akrab, kau malah jahat, setiap kali Andini menyapa hanya kau balas
dengan tatapan”.
HARI MINGGU
Andini
Tak terasa kami sudah kelas enam. Sejak masuk tahun ajaran
baru kami disiapkan untuk belajar dan mengikuti les tambahan dari Pak Sanusi.
Ibuku sudah sering mengingatkanku untuk fokus dengn pelajaran dan mengurangi
membaca novel.
Hari ini hari minggu, lepas pulang mengaji dari langgar Kyai
Kip, aku duduk di ayunan tua di samping jendela besar yang menghadap ke kebun.
Aku ingin menyempatkan membaca Buku Atheis. Aku sudah memohon selama hampir dua
minggu pada Ayah agar diperbolehkan membacanya. Ayah sempat menunda-nunda dan
berkilah masih banyak buku lain yang belum kubaca. Tapi buku yang ditandai Ayah
sudah habis. Buku lainnya tak diperbolehkan karena belum cukup umur. Bahkan
koleksi S Mara GD dengan Kapten Kosasihnya sudah habis kulahap. Aku tertarik
dengan buku-buku ayah di rak kaca itu karena ada tulisan besar KARYA PUJANGGA
BARU.
Sambil menimang buku bersampul hitam setebal hampir 500
halaman di tanganku aku melamun. Aku ingin menulis seperti Ayah. Aku ingin
menjadi pendongeng hebat seperti Ayah. Dan aku akan menulis kisah yang bagus
sampai diterjemahkan ke seluruh dunia. Ayah bilang buku yang bagus akan dibaca
oleh semua bangsa. Buku yang bagus lekat di hati pembaca, meninggalkan jejak
dan menjadi penyemangat bagi yang membaca. Aku ingin menulis buku seperti yang
dimaksud Ayah.
Kisahnya baru dimulai ketika hidungku kembang kempis
menghirup aroma sambal kentang dari dapur. Aromanya menguar memenuhi ruang tempatku
duduk. Lantai kayu hitam berdecit ringan mengiringi kakiku menuju dapur.
“Hatchiiiim, hatchiiim...”
Bersinku tak terkendali. Kulihat pinggan putih di meja bulat
sudah terisi irisan tipis kentang goreng berbalut cabai merah. Ah tak tahan
kuulurkan tanganku untuk mencicip ketika tepukan lembut dibahu membuatku urung.
“Cucilah tangan dulu Andin dan lekas panggil Ayah dan Kak
Feri di depan,” Ibu menatapku dengan tersenyum sambil matanya bergerak lucu
kearah ruang depan tempat Ayah dan Kak Feri mengobrol.
“Bolehlah cicip dikit Bu?” ujarku dengan tatapan memohon.
“Tak nak!, Tak elok anak perawan suka incip, nanti tak baik
kalo sudah besar” Ibuku menjawab dengan sabar sambil mendorongku ke arah ruang
tamu.
Aku bergegas menemui Ayah, kulihat sepupuku sedang asyik
menghirup cuko berwarna hitam bikinan ibu. Gigi putihnya menyembul dari balik
mangkok ketika melihatku mendekat. Kak Feri anak Makwo Eteh, ponakan Kakek.
Usianya hampir 14 tahun, beda 5 tahun denganku. Berkulit putih dan berbadan
gempal hampir seukuran Juno. Mungkin Kak Feri kalah tinggi dibanding Juno tapi
Kak Feri jelas lebih tampan dibanding Juno. Aku tersenyum mebayangkan Juno
bertemu dan berkelahi dengan Kak Feri, menebak siapa yang bakal menang.
Seandainya Kak Feri tinggal dekat denganku aku akan mengadu setiap detik,
mengadukan perlakuan teman-temanku, mengadukan Juno yang tak pernah ramah
denganku. Rasanya menyenangkan hanya dengan membayangkan.
“Pagi-pagi sudah ngelamun aja adeknya kakak,” sapa Kak Feri
hangat. Pipiku memerah ketahuan melamun.
“Kapan Kak Feri nyampe?” sahutku cepat menutupi gugup karena
ketahuan membayangkan yang tidak-tidak.
“Baru lah, baru abis 8 ikok pempek” sahut Kak Feri dengan
senyum lebar.
Ayah menghirup kopi hitam dari gelas panjang di atas meja,
mengabaikan kami. Ayah sibuk dengan pikirannya sendiri. Kulirik meja segi empat
kecil yang terlihat penuh dengan dua gelas kopi, cuko dan piring berisi pempek.
Hanya tersisa dua buah pempek lenjer di sana, kuambil dan kumakan tanpa cuko.
Aku masih mengunyah pempek kedua ketika Ibu mendekat dan mengajak kami ke dapur
untuk sarapan nasi.
Kak Feri dan Ayah makan dengan lahap.
“Loh katanya dah habis 8 ikok pempek, ih kok masih
kelaparan?” protesku melihat Kak Feri makan. Yang ditanya hanya senyum-senyum
karena mulutnya penuh dengan makanan. Ibu kembali menepuk pundakku.
“Iya, nggak boleh bersuara kalo lagi makan, kecuali kentut,”
jawabku dengan cemberut. Ayah hampir tersedak mendengar jawabanku lalu bunyi
seperti kentut yang ditahan terdengar. Aku celingukan mencari siapa yang
kentut. Dan senyum lebar Ayah menjawab rasa penasaranku.
“Maaf, nggak sengaja,”
kata Ayah masih dengan senyum pepsodennya. Kak Feri dan Ibu ikut tertawa kecil.
Bersambung...
Lanjutannya mana nih
BalasHapus